Pages

Saturday, February 6, 2021

HIKAYAT 1001 MALAM : EPISOD 41 - 50

 EPISOD 41 : AHLI KHAT TERMASYHUR...

Malam berikutnya, ketika sang raja telah bermesra dengan Syahrazad, Dinarzad berkata, "Kak, jika engkau belum mengantuk, ceritakan kepada kami salah satu ceritamu yang indah untuk mengisi malam." Syahrazad menyahut, "Dengan senang hati."

Dikisahkan, wahai Raja yang bahagia, orang-orang yang berada di situ sangat hairan dengan kisah sufi pertama. Sang khalifah berkata kepada Jaafar, "Sepanjang hidupku, belum pernah kudengar kisah yang begini aneh."

 

Lalu sufi kedua maju dan berkata, "Demi Tuhan, wahai tuan puteri, aku tidak dilahirkan dengan mata sebelah. Ayahku seorang raja, dan dia mengajari aku cara menulis dan membaca hingga aku boleh membaca Al-Qur'an yang Agung dengan tujuh lagu bacaan. Kemudian aku mempelajari ilmu hukum dalam sebuah buku karya Al-Syaabi dan memberikan penjelasan tentangnya di depan para sarjana yang lain. Lalu aku mempelajari bahasa Arab klasik dan tata bahasanya hingga mencapai puncak kemahiran dan menyempurnakan seni khat hingga mengungguli semua rakan- rakan yang sezaman denganku dan seluruh ahli khat terkemuka pada zaman itu. Kemasyhuran, kemahiran dan seni khatku menyebar ke setiap wilayah dan kota hingga ke telinga semua raja zaman itu.

Suatu hari raja India mengirimkan kepada ayahku hadiah-hadiah dan benda-benda berharga yang patut diterima raja dan memintanya untuk mengutusku menemuinya. Ayahku menyediakan enam ekor kuda tunggangan dan mengutus aku bersama para pengawal. Lalu kuucapkan selamat padanya dan memulai perjalananku. Kami mengenderai kuda selama sebulan penuh hingga suatu hari kami menemui longgokan debu yang menggu nung, tetapi sebentar kemudian angin meniup debu itu dan udara bersih kembali. Tiba-tiba kami melihat lima puluh orang penunggang kuda yang nampak bagaikan singa-singa yang me mandang tajam ke arah kami dalam pakaian baja....

Tetapi fajar menyingsing, dan Syahrazad menghentikan ceritanya. Lalu Dinarzad berkata, "Kak, alangkah menghairankan dan menariknya kisah itu!" Syahrazad menyahut, "Esok malam aku akan menceritakan kepadamu sesuatu yang lebih aneh, lebih menghairankan dan lebih menarik, jika sang raja mengizinkanku dan membiarkan aku hidup!"

 Al-Syaabi : Penulis terkenal dalam masalah fiqh Islam

**********************************************

EPISOD 42 : PARA PENYAMUN YANG MEMAKAI BAJU BAJA...

Malam berikutnya, ketika sang raja telah bermesra dengan Syahrazad, Dinarzad berkata, "Kak, jika engkau belum mengantuk, ceritakan kepada kami salah satu ceritamu yang indah untuk mengisi malam." Syahrazad menyahut, "Dengan senang hati."

Hamba mendengar, wahai Raja yang bahagia, sufi kedua, iaitu anak raja itu berkata kepada sang gadis:

Ketika kami memandang mereka dengan saksama, tahulah kami bahawa mereka adalah para penyamun. Ketika mereka melihat jumlah kami yang sedikit dengan sepuluh muatan berisi berbagai jenis barang yakni barang-barang untuk hadiah mereka menyangka bahawa kami membawa berpeti-peti wang. Mereka menghunuskan pedang dan mengarahkan tombak mereka kepada kami. Kami memberi isyarat kepada mereka, sambil mengatakan, "Kami adalah para utusan yang akan menemui raja India; kalian tidak boleh mengganggu kami."

Mereka menyahut, "Kami tidak berada di dalam wilayahnya atau di bawah kekuasaannya."

Lalu mereka membunuh semua pengawalku dan melukaiku. Tetapi ketika para penyamun itu sedang sibuk merampas hadiah-hadiah yang kami bawa, aku berjaya melarikan diri dan mengembara tanpa mengetahui ke mana aku harus pergi atau ke arah mana jalan yang harus kulalui. Sebelum ini aku berjaya, tetapi kini menjadi hina; sebelum ini aku kaya, tetapi kini menjadi miskin....

Tetapi fajar menyingsing, dan Syahrazad menghentikan ceritanya. Lalu Dinarzad berkata, "Kak, alangkah menghairankan dan menariknya kisah itu!" Syahrazad menyahut, "Esok malam aku akan menceritakan kepadamu sesuatu yang lebih aneh, lebih menghairankan dan lebih menarik, jika sang raja mengizinkanku dan membiarkan aku hidup!"

**********************************************

EPISOD 43 : SEBUAH ISTANA DIBAWAH TANAH...

Malam berikutnya, ketika sang raja telah bermesra dengan Syahrazad, Dinarzad berkata, "Kak, jika engkau belum mengantuk, ceritakan kepada kami salah satu ceritamu yang indah untuk mengisi malam." Syahrazad menyahut, "Dengan senang hati."

Hamba, mendengar, wahai Raja yang bahagia, sufi kedua berkata kepada gadis itu:

Setelah aku dirompak, aku meneruskan perjalanan. Ketika malam menjelang, aku memanjat sisi sebuah gunung dan berteduh di dalam sebuah gua dari malam hingga pagi. Lalu aku berjalan lagi hingga malam tiba, makan dari tanaman yang tumbuh di atas tanah dan buah-buahan dari pepohonan, dan tidur hingga fajar. Selama sebulan aku mengembara dengan cara demikian hinggalah aku tiba di sebuah kota yang indah, aman dan makmur, yang penuh orang-orang yang baik. Saat itu musim sejuk baru saja meninggalkan saljinya dan musim semi datang bersama mawar-mawarnya. Sungai-sungai mengalir, bunga-bunga berkembang dan burung-burung bernyanyi. Itu adalah kota seperti yang digambarkan sang penyair:

Lihatlah kota yang tenteram,
bebas dari ketakutan,
Yang keajaibannya membuatnya nampak indah bagai syurga.

Aku merasa senang dan serentak dengan itu juga perasaan sedih pada waktu yang bersamaan; senang kerana telah tiba di sebuah kota; sedih kerana berada dalam keadaan yang begitu menyedihkan. Aku sangat letih setelah berjalan terus menerus sehingga aku menjadi pucat karena keletihan. Wajah dan tangan serta kakiku pecah-pecah, dan aku dilanda perasaan khuatir dan duka. Aku memasuki kota itu, tanpa mengetahui ke mana harus pergi. Kebetulan aku melalui seorang penjahit yang sedang duduk di kedainya. Aku menyapanya, dan dia membalas sapaanku. Ketika melihat diriku, dia menyambutku dan sambil menjemputku untuk duduk bersamanya, berbicara santai kepadaku.

Penjahit itu menanyakan siapakah aku, dan aku menceritakan kepadanya tentang diriku dan apa yang telah terjadi terhadapku. Dia ikut sedih atas nasibku dan berkata, "Anak muda, jangan ceritakan rahsiamu pada siapa pun, sebab raja di kota ini adalah musuh terbesar ayahmu, dan ada pertentangan berdarah di antara mereka."

Lalu dia membawa makanan dan kami makan bersama. Ketika malam tiba, dia memberiku sebuah tempat untuk berehat di sampingnya di dalam kedai itu, dan membawakanku sebuah selimut dan keperluan-keperluan lain. Aku tinggal bersamanya selama tiga hari, lalu dia menyoalku, "Tidakkah engkau mempunyai kemahiran yang dapat engkau pergunakan untuk mencari nafkah?"

Aku menyahut, "Aku seorang ahli hukum, ahli sastera, penyair, ahli tata bahasa dan penulis khat."

Dia berkata, "Kemahiran-kemahiran seumpama itu tidak begitu diperlukan di kota kami."

Aku menyahut, "Demi Tuhan, aku tidak mempunyai keahlian lain lagi, kecuali apa yang telah kusebutkan padamu."

Dia berkata, "Persiapkan dirimu, ambillah sebuah kapak dan tali, dan pergilah menebang kayu di hutan sebagai mata pencarianmu. Tetapi supaya engkau tidak mati, simpanlah rahsiamu dan jangan biarkan seorang pun mengetahui siapa dirimu, hinggalah Tuhan mengirimkan pertolongan padamu."

Lalu dia membelikanku sebuah kapak dan tali dan menyerahkanku di bawah pengawasan para penebang kayu tertentu. Aku pergi bersama mereka, menebang kayu sepanjang hari, dan kembali pulang, dengan membawa hasil kerjaku di atas kepala. Aku menjual kayu itu seharga setengah dinar dan membawa wang itu kepada si penjahit. Dengan pekerjaan seperti itu aku melewatkan waktu satu tahun penuh.

Suatu hari aku pergi ke hutan, dan setelah masuk jauh ke dalam, kutemukan serumpun pepohonan di tengah padang rumput yang mendapat air dari sungai-sungai yang mengalir. Ketika aku memasuki rumpun itu, kudapati setunggul pohon, dan ketika kugali di sekelilingnya dengan kapakku dan menyingkirkan tanah di situ, aku melihat sebuah cincin yang melekat pada sebuah papan kayu. Aku mengangkat papan itu dan di bawahnya kutemukan sebuah tangga. Aku menuruni anak tangga itu, dan ketika sampai di dasarnya, aku menemukan sebuah istana di bawah tanah yang dibangun dengan kokoh dan dibina dengan indah; sebuah istana yang sangat mewah tiada taranya. Aku masuk ke dalam dan melihat seorang gadis cantik yang nampak bersinar bagaikan mutiara yang cemerlang atau cahaya matahari, yang tutur katanya menghapuskan seluruh kesedihan dan memikat orang yang paling pandai dan bijaksana sekalipun. Tinggi sekitar lima kaki, bentuk tubuhnya indah, dadanya padat, pipinya lembut dan wajahnya menawan. Di antara rambutnya yang hitam, nampak wajahnya bercahaya, dan di atas dadanya yang lembut, mulutnya kemilau, sebagaimana sang penyair melukiskan gadis seperti dirinya:

Empat hal
yang tidak pernah menyatu
di sini berpadu
Untuk menumpahkan darahku
dan merosakkan jantungku,
Alis yang cemerlang
dan rambut yang memikat
Dan pipi yang kemerahan
dan senyum yang gemerlap....

Tetapi fajar menyingsing, dan Syahrazad menghentikan ceritanya. Lalu Dinarzad berkata kepada kakaknya, "Kak, betapa aneh dan menariknya kisah itu!" Syahrazad menyahut, "Ini belum apa-apa jika dibandingkan dengan apa yang akan kuceritakan kepadamu esok malam, jika aku masih hidup!"

 ********************************************

 EPISOD 45 : SEORANG GADIS DI DALAM ISTANA JIN...

Malam berikutnya, ketika sang raja telah bermesra dengan Syahrazad, Dinarzad berkata, "Kak, jika engkau belum mengantuk, ceritakan kepada kami salah satu ceritamu yang indah untuk mengisi malam." Syahrazad menyahut, "Dengan senang hati."

Hamba mendengar, wahai Raja yang bahagia, sufi kedua itu berkata kepada si gadis:

Ketika gadis itu memandangku, dia bertanya, "Siapakah engkau, seorang manusia atau jin?"

Aku menyahut, "Aku seorang manusia."

Dia bertanya lagi, "Apa yang menyebabkan engkau sampai di sini? Aku telah hidup di tempat ini selama dua puluh lima tahun tanpa pernah melihat seorang manusia pun."

Aku berkata karena kuanggap kata-katanya begitu manis dan mengharukan dan dia telah memikat hatiku - "Nasib baikku membawaku ke sini untuk mengusir kesedihanku, atau barangkali nasib baikmu, untuk menghapuskan kesedihanmu."

Lalu kuceritakan kepadanya kemalanganku, dan dia merasa ikut sedih dan berkata, "Aku pun akan menceritakan kepadamu kisahku. Aku adalah puteri Aftimarus, raja dari Pulau Kayu Hitam. Ayahku menikahkanku dengan salah seorang saudara sepupuku, tetapi pada malam perkahwinanku seorang jin menculikku, membawaku terbang, dan sesaat kemudian menurunkan aku di tempat ini. Lalu dia membawakanku semua yang kuperlukan, makanan dan minuman serta gula-gula dan yang lain-lain. Setiap sepuluh hari sekali dia datang untuk melewatkan malam bersamaku, sebab dia mengambilku setelah dia sendiri berkeluarga. Jika aku memerlukan sesuatu darinya pada malam atau siang hari, aku hanya perlu menyentuh dua garis yang terukir pada ambang pintu, dan dia akan berada di hadapanku sebelum aku mengangkat jari-jariku. Dia telah pergi selama empat hari, jadi tinggal enam hari lagi sebelum dia datang lagi ke sini. Mahukah engkau bersamaku selama lima hari ini dan pergi sehari sebelum dia datang?"

Aku menyahut, "Ya, tentu!"

Dia merasa senang dan bangkit lalu menggandengku, berjalan melalui pintu melengkung menuju ke sebuah bilik mandi. Dia melepaskan pakaianku dan pakaiannya sendiri dan, setelah memasuki bak mandi, dia memandikanku dan membasuh tubuhku. Ketika kami keluar, dia memakaikan padaku pakaian baru, mendudukkan aku di atas sebuah dipan, dan sambil memberikan padaku secangkir besar sari buah untuk diminum, duduk bercakap-cakap denganku sebentar. Lalu dia menyiapkan makanan di hadapanku, dan aku makan hingga kenyang. Lalu dia memberiku bantal sambil berkata, "Berbaringlah dan berehatlah, sebab engkau letih."

Aku berbaring dan tidur, melupakan segala kesedihan di dunia dan memperolehi kembali tenagaku. Ketika aku bangun, aku mendapatinya sedang memijatku. Aku bangkit, duduk dan mengucapkan terima kasih padanya, dan mendoakan rahmat Tuhan untuknya. Lalu dia bertanya, "Anak muda, apakah engkau bersedia untuk minum?"

Aku menjawab, "Ya, mari kita minum," dan dia pergi ke lemari mengeluarkan sebotol anggur tua yang masih tertutup dan sambil mengemaskan meja dengan hidangan yang mewah, ia mulai menyanyikan syair-syair berikut ini:

Kalau saja kami mengetahui kedatanganmu,
mata hitam kami
atau jantung kami yang berdebar-debar
keranamu pasti telah membahagiakan,
Atau dengan pipi kami pasti telah menyelubungi bumi,
Sehingga di atas kelopak mata kau dapat berjalan.

Cintaku padanya mulai menyihir seluruh jiwaku dan kesedihanku musnah. Kami duduk minum-minum hingga malam tiba, dan bersamanya kulalui malam yang sangat indah yang belum pernah kualami seumur hidupku. Ketika kami bangun, kesenangan demi kesenangan kami nikmati sampai tengah hari, dan aku telah demikian mabuk sehingga aku hampir kehilangan kesedaran dan mulai berjalan terhuyung-hayang ke kanan dan ke kiri.

Aku berkata, "Wahai kekasihku yang cantik jelita, biarkan aku membawamu naik dan membebaskanmu dari penjara dan sarang jin ini."

Dia tertawa dan menyahut, "Wahai kekasihku, duduklah diam-diam, tenangkan dirimu dan berbahagialah, sebab dari setiap sepuluh hari hanya sehari yang kuperuntukkan bagi jin itu dan yang sembilan untukmu."

 ku berkata kerana minuman itu telah menghangatkan badanku. "Saat ini juga aku akan menendang ambang pintu dengan tulisan terukir itu dan membiarkan si jin datang, agar aku dapat membunuhnya, sebab aku telah terbiasa membunuh puluhan jin."

Ketika dia mendengar kata-kataku, dia menjadi pucat dan gementar seraya berkata, "Jangan, demi Tuhan, jangan lakukan itu."

Lalu dia melantunkan bait-bait berikut ini:

Kau, yang mengharapkan perpisahan,tahan keinginanmu,
Sebab kuda-kudanya terlalu cepat dan bebas.
Tahanlah,
sebab pengkhianatan telah menjadi cara kehidupan
Dan kekerasan akhir dari persahabatan.

Tetapi dalam keadaan mabuk, kutendang juga ambang pintu itu....

Tetapi fajar menyingsing, dan Syahrazad menghentikan ceritanya. Lalu Dinarzad berkata, "Kak, alangkah menghairankan dan menariknya kisah itu!" Syahrazad menyahut, "Esok malam aku akan menceritakan kepadamu sesuatu yang lebih aneh, lebih menghairankan dan lebih menarik, jika sang raja mengizinkanku dan membiarkan aku hidup!"

******************************************* 

EPISOD 45 : SEORANG LELAKI TUA PARSI YANG MEMBAWA SELIPAR DAN BAJU BESI

Malam berikutnya, ketika sang raja telah bermesra dengan Syahrazad, Dinarzad berkata, "Kak, jika engkau belum mengantuk, ceritakan kepada kami salah satu ceritamu yang indah untuk mengisi malam." Syahrazad menyahut, "Dengan senang hati."

Dikisahkan, wahai Raja yang bahagia, sufi kedua itu berkata kepada sang gadis:

Segera setelah aku menendang ambang pintu, datanglah guntur dan halilintar, dan bumi mulai bergoncang dan segalanya berubah gelap. Aku langsung tersedar dan berteriak padanya, "Apa yang sedang terjadi."

Dia menjawab, "Jin itu datang. Wahai kekasihku, bangunlah dan larilah menyelamatkan diri"

Aku segera berlari menaiki tangga, tetapi dalam ketakutan yang mencekam, aku meninggalkan selipar dan kapak besiku. Aku belum sampai mencapai puncak tangga ketika kulihat lantai istana terbelah hancur dan jin itu muncul sambil berkata, "Bencana apa yang telah mendorongmu untuk menyusahkan aku seperti ini?"

Dia menjawab, "Tuanku, hari ini aku merasa sedih sekali dan minum sedikit anggur untuk menenangkan hatiku. Lalu aku bangun untuk pergi menenangkan diri, tetapi aku merasa pusing dan jatuh menimpa ambang pintu."

Jin itu berkata, "Kau berdusta, kamu pelacur," dan sambil melihat ke sekelilingnya, jin itu menemukan selipar dan kapakku, lalu bertanya, "Milik siapa ini semua?"

Dia menjawab, "Saya belum pernah melihatnya sebelum ini. Mungkin ia melekat di bajumu dan engkau membawanya kemari."

Jin itu berkata, "Aku tak akan tertipu oleh muslihat ini, kamu perempuan pelacur!"

Lalu dia mencengkeramnya, menelanjanginya dan sambil mengikat kedua tangan dan kakinya ke empat tiang, mulai menyeksanya untuk supaya mengakui akan apa yang telah terjadi.

Wahai tuan puteri, dengan gementar ketakutan, aku memanjat tangga itu pelan-pelan hingga aku berjaya keluar. Lalu aku meletakkan penutup lubang itu seperti sebelumnya dan menutupinya dengan tanah. Aku merasa sedih sekali dan sangat menyesal, ketika aku memikirkan tentang gadis itu, kecantikannya, kebaikannya dan sikapnya yang murah hati, bagaimana dia telah hidup tenang selama dua puluh lima tahun dan bagaimana dalam satu malam saja aku menimpakan bencana ini padanya. Dan ketika kuingat ayahku dan negeriku, bagaimana kesenangan bertukar menjadi kesusahan dan aku menjadi penebang kayu, dan bagaimana untuk sesaat ia bersahabat denganku dan menghukumku lagi, aku meratap dengan sedih, menyalahkan diri sendiri, dan mengulang-ulangi sajak berikut ini:

Nasibku melawanku bagaikan seorang musuh
Dan mengejarku yang tak berdaya tanpa henti.
Jika sekali ia mahu memperlakukanku dengan baik,
Seketika ia berbalik, siap menghukumku.

Lalu aku terus berjalan hingga aku tiba di rumah kawanku si penjahit, yang kulihat sedang menantiku dengan sangat cemas. Dia gembira melihatku dan bertanya, "Saudaraku, di mana engkau tidur semalam? Aku mengkhuatirkanmu, syukur kepada Tuhan atas keselamatanmu."

Aku berterima kasih padanya atas keprihatinannya dan ketika aku berada di tempat istirehatnya, duduk memikirkan tentang apa yang telah menimpaku, menyalahkan diri sendiri yang telah berlaku ceroboh, sebab jika aku tidak menendang ambang pintu itu, tak akan terjadi apa-apa. Ketika aku sedang duduk, sedang dilamun pemikiran semacam itu, kawanku si penjahit mendatangiku dan berkata, "Di luar ada seorang lelaki tua Parsi, yang membawa kapak besi dan seliparmu. Dia telah membawanya kepada para penebang, yang berkata, "Saya pergi pagi ini untuk memenuhi seruan azan dan tersandung kapak dan selipar ini. Lihatlah barang-barang ini dan katakan pada saya siapa pemiliknya dan di mana saya dapat menjumpainya."

Para penebang itu mengenali kapakmu dan mengatakan padanya di mana tempat tinggalmu, dengan berkata, "Kapak ini milik seorang pemuda, seorang asing yang tinggal bersama si penjahit. Pada saat ini orang itu sedang berada di kedai. Pergilah menjumpainya dan berikan kapak ini padanya."

Ketika aku mendengar apa yang dikatakan si penjahit itu, aku merasa pusing dan berubah pucat dan, sementara kami sedang berdiri sambil berbicara, lantai bilikku merekah remuk dan dari situ muncullah si lelaki tua Parsi, yang sebenarnya adalah jin itu sendiri. Dia telah menyeksa gadis itu hingga hampir mati, tetapi si gadis tidak mengaku. Maka dia mengambil kapak dan selipar itu seraya berkata, "Jika aku benar-benar anak perempuan jin, aku akan membawa kembali ke hadapanmu pemilik kapak ini." Lalu dia menyamar sebagai seorang lelaki Parsi dan datang menjumpaiku. Ketika tanah merekah remuk dan dia muncul....

Tetapi fajar menyingsing, dan Syahrazad menghentikan ceritanya. Lalu Dinarzad berkata kepada kakaknya, "Kak, betapa aneh dan menariknya kisah itu!" Syahrazad menyahut, "Ini belum apa-apa jika dibandingkan dengan apa yang akan kuceritakan kepadamu esok malam, jika aku masih hidup!"

*********************************************

EPISOD 46 : GADIS YANG DISEKSA OLEH JIN...

Malam berikutnya, ketika sang raja telah bermesra dengan Syahrazad, Dinarzad berkata, "Kak, jika engkau belum mengantuk, ceritakan kepada kami salah satu ceritamu yang indah untuk mengisi malam." Sang raja menambahkan, "Hendaklah cerita itu lanjutan daripada kisah si penebang kayu, jin dan gadis yang diseksa itu." Syahrazad menyahut, "Dengan senang hati."

Dikisahkan, wahai sang Raja, sufi kedua itu berkata kepada gadis itu:

Segera setelah jin itu muncul, dia menarikku dari bilikku, membawaku terbang tinggi ke langit, dan terbang bersamaku. Dalam tempoh sekejap saja dia sudah mendarat, menendang lantai dengan kakinya, membuatnya merekah remuk dan terus membawaku yang telah jatuh pengsan, menembus ke dalam tanah dan muncul di tengah istana di mana aku pernah bermalam di dalamnya. Di sana kulihat gadis itu telanjang, kedua tangan dan kakinya terikat, pinggangnya berdarah, dan air mata memenuhi pelupuk mataku. Jin itu melepaskan ikatannya dan sambil menyelimuti tubuhnya, ia berkata, "Kau pelacur, benarkan bahawa lelaki ini kekasihmu?"

Sambil memandang padaku, dia menjawab, "Aku sama sekali tidak mengenali lelaki ini dan aku tidak pernah melihatnya hingga saat ini."

Jin itu berkata, "Jahanam kau, dengan semua seksaan ini, kau tetap tidak mahu mengaku!"

Dia berkata, "Aku tidak mengenali lelaki ini, dan aku tidak mahu berbohong tentang dia dan membiarkanmu membunuhnya."

Jin itu menyahut, "Jika kau tidak mengenalinya, ambillah pedang ini dan penggallah kepalanya."

Dia mengambil pedang itu dan sambil mendatangiku, berdiri menghadapiku. Aku memberi isyarat padanya dengan kerdipan mataku, dan dia mengerti dan balas mengerdip, yang bererti, "Bukankah kau orang yang mengakibatkan semua ini menimpa kita?" Aku memberi isyarat lagi, "Inilah waktunya untuk memberi maaf," dan dia menyahut dengan kata-kata yang tertulis dengan air mata di pipinya:

Mataku berbicara mewakili lidahku untuk membuatnya tahu,
Dan cinta mengacaukan apa yang ingin kusembunyikan.
Ketika kita terakhir bertemu dan mencurahkan fikiran kita
dalam linangan air mata
Lidah terkunci,
kubiarkan mata mengungkapkan isi hatiku.
Dia memberi isyarat dengan matanya, dan aku mengerti;
Dia mengerdip, dan dia tahu apa yang dikatakan mata.
Bulu mata kami menjalankan tugas kami dengan baik sekali, 
Sementara kami berdiri diam
dan membiarkan cinta membara

Lalu gadis itu melemparkan pedangnyadan melangkah mundur sambil berkata, "Bagaimana mungkin aku memenggal leher orang yang tidak kukenali dan menanggung dosa dari cucuran darahnya?"

Jin itu berkata, "Kau tidak sampai hati membunuhnya sebab dia pernah tidur bersamamu. Kau telah menderita akibat segala seksaan ini, namun kau tetap tak mahu mengaku. Jelaslah bahawa orang hanya dapat ikut merasakan dan mengasihani yang sejenis dengannya."

Lalu jin itu menatapku dan berkata, "Kau manusia, apakah engkau juga tidak mengenali wanita ini?"

Aku menjawab, "Siapakah dia adanya, sebab aku belum pernah melihatnya hingga saat ini"

Dia berkata, "Kalau begitu ambillah pedang ini dan penggallah kepalanya, dan aku akan percaya bahawa engkau tidak menge nalinya dan akan membebaskanmu."

Aku menyahut, "Aku akan melakukannya," lalu aku mengambil pedang itu dan melompat ke arahnya....

Tetapi fajar menyingsing, dan Syahrazad menghentikan ceritanya. Lalu Dinarzad berkata, "Kak, alangkah menghairankan dan menariknya kisah itu!" Syahrazad menyahut, "Esok malam aku akan menceritakan kepadamu sesuatu yang lebih aneh, lebih menghairankan dan lebih menarik, jika sang raja mengizinkanku dan membiarkan aku hidup!"

***********************************************

EPISOD 47 : JIN MEMBUNUH SEORANG WANITA...

Malam berikutnya, ketika sang raja telah bermesra dengan Syahrazad, Dinarzad berkata, "Kak, jika engkau belum mengantuk, ceritakan kepada kami salah satu ceritamu yang indah untuk mengisi malam." Sang raja menambahkan, "Hendaklah cerita itu lanjutan daripada kisah si penebang kayu, jin dan gadis yang diseksa itu." Syahrazad menyahut, "Dengan senang hati."

Hamba mendengar, wahai Raja yang bahagia,

sufi kedua itu berkata kepada gadis itu:

Ketika aku mengambil pedang itu dan mendatanginya, dia mengerdip padaku, yang mengandungi erti, "Bagus! Beginilah caranya engkau membalasku!" Aku memahami air mukanya dan berjanji dengan mataku, "Aku akan menyerahkan nyawaku untukmu." Lalu kami berdiri sesaat, saling bertukar pandangan, seakan-akan berkata:

Banyak lelaki mengatakan kepada kekasihnyaDengan bahasa matanya apa yang tersimpan dalam hatinya.

"Aku tahu apa yang tersembunyi," seolah-olah dia berkata,
Dan dengan pandangannya dia memberikan pemikirannya.
Betapa indahnya pandangan mata,
Betapa anggun mata yang penuh cinta
Yang dengan pancarannya
sang kekasih menuliskan pesannya,
Dan mata yang lain membaca apa yang ditulis kekasihnya.

Aku melemparkan pedang itu, melangkah mundur seraya berkata, "Jin, jika seorang wanita yang sedang bingung, kehilangan akal dan tak sanggup berkata-kata, menolak untuk memenggal kepala seorang lelaki yang tidak dikenalinya, bagaimana mungkin aku, seorang lelaki, memenggal kepala seorang wanita yang tak kukenali? Aku tidak akan mampu melakukan perbuatan terkutuk ini, walaupun aku harus mati untuk itu."

Jin itu berkata, "Kalian berdua berkomplot melawanku, tetapi aku akan menunjukkan padamu akibat dari perbuatan kalian yang tak senonoh."

Lalu dia mengambil pedang dan menyerang gadis itu, memisahkan lengannya dari bahunya dan melemparkannya ke udara. Lalu dia menyerang lagi dan memisahkan lengan yang lain dan melemparkannya ke udara. Gadis itu memandangiku, ketika dia terbaring di ambang kematian, dan dengan pandangan matanya mengucapkan selamat padaku. Wahai tuan puteriku, pada saat itu aku merindukan kematian, dan untuk sesaat aku jatuh pengsan.

"Inilah hukuman bagi mereka yang suka menipu," kata jin itu dan, sambil menatapku dengan tajam, ia menambahkan, "Hai manusia, sudah menjadi hukum kami bahawa jika seorang isteri mengkhianati suaminya, dia tidak lagi sah sebagai miliknya, dan suami itu harus membunuhnya dan menyingkirkannya. Aku menculik gadis ini pada malam perkahwinannya, ketika dia masih seorang gadis berusia dua belas tahun yang belum mengenali seorang lelaki pun kecuali diriku. Aku biasanya mendatanginya setiap sepuluh hari sekali dengan menyamar sebagai seorang lelaki Parsi, untuk melewatkan malam bersamanya. Ketika aku merasa yakin bahawa dia telah mengkhianatiku, aku membunuhnya, sebab dia tidak lagi halal bagiku. Sedangkan untukmu, walaupun aku tidak yakin apakah memang engkau yang bersalah, aku tidak akan membiarkanmu pergi tanpa menderita. Katakan padaku, kau ingin kuubah menjadi binatang apa dengan ilmu sihirku; seekor anjing, keldai atau singa? Apakah kau lebih suka menjadi burung atau binatang buas?"

Aku menyahut, "Wahai jin, lebih layak bagimu untuk mengampuniku, sebagaimana orang yang membuat iri mengam- puni orang yang iri."

Jin itu bertanya, "Bagaimana kisahnya?"

Aku lalu bercerita padanya: Dikisahkan, wahai jin, dahulu kala hiduplah di sebuah kota dua orang yang tinggal di rumah mereka yang berdampingan dan dipisahkan oleh tembok. Salah seorang di antara mereka iri kepada yang lain, selalu memandangnya dengan fikiran jahat, dan berusaha sedaya upaya untuk menyakitinya. Dia begitu dikuasai oleh rasa irinya itu hingga dia hampir tidak dapat makan atau menikmati ketenangan dalam tidumya. Sebaliknya orang yang membuat iri tidak berbuat apa-apa dan justeru bertambah kaya, sehingga semakin agresif usaha orang yang iri untuk menyakitinya. Semakin bertambah kekayaan lawannya, maka semakin makmurlah ia. Akhirnya rasa iri dan kejahatan jirannya menarik perhatiannya, lalu dia meninggalkan kawasan itu dan pindah ke kota lain, sambil berkata,

"Demi Tuhan, kerana dia, boleh jadi aku akan meninggalkan dunia ini." Di tempat yang baru dia membeli sendiri sepetak tanah yang mempunyai sebuah perigi tua, membangun sebuah tempat pertapaan yang dilengkapinya dengan tikar-tikar dari jerami dan keperluan-keperluan lainnya, dan mencurahkan perhatiannya hanya untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Besar.

Para pendeta, pengemis mulai berkumpul di rumahnya yang datang dari berbagai tempat. Kemasyhurannya menyebar ke seluruh penjuru kota. Dengan segera berita itu sampai ke telinga jirannya yang iri, bagaimana dia kini telah makmur dan bagaimana para tokoh terkemuka di kota itu mengunjunginya. Maka si jiran pun berangkat ke kota itu, dan ketika dia memasuki tempat pertapaan, orang yang membuatnya iri itu menerimanya dengan salam yang ceria, sambutan yang hangat dan penuh penghormatan. Lalu orang yang iri berkata, "Aku ingin memberitahukanmu tentang sesuatu yang mendorongku datang mengunjungimu. Marilah kita berjalan di samping tempat pertapaan, agar aku dapat mengatakan hal itu padamu."

Orang yang membuat iri itu bangkit, dan orang yang iri memegang tangannya, mereka berjalan ke sudut yang jauh dari pertapaan itu. Lalu orang yang iri berkata, "Kawan, suruhlah para pendetamu masuk ke bilik mereka, sebab aku tidak akan mengatakannya padamu, kecuali secara peribadi, agar tidak ada yang mendengarkan kita."

Dengan patuh, orang yang membuat iri itu berkata kepada para pendeta, "Rehatlah di bilik kalian," dan mereka menuruti arahan itu. Lalu orang yang iri berkata, "Nah, sebagaimana kukatakan kepadamu, kisahku adalah...." dan dia berjalan bersamanya dengan perlahan-lahan sampai mereka mencapai pinggir sumur tua itu. Tiba-tiba orang yang iri mendorong orang yang membuat iri dan, tanpa dilihat oleh seorang pun, mengakibatkannya terjatuh ke dalam sumur. Lalu dia meninggalkan pertapaan itu dan pergi, merasa yakin bahawa dia telah membunuhnya....

Tetapi fajar menyingsing, dan Syahrazad menghentikan ceritanya. Lalu Dinarzad berkata kepada kakaknya, "Kak, betapa aneh dan menariknya kisah itu!" Syahrazad menyahut, "Ini belum apa-apa jika dibandingkan dengan apa yang akan kuceritakan kepadamu esok malam, jika aku masih hidup!"

 ************************************

EPISOD 48 : MENGUBATI PENYAKIT KERASUKAN JIN DENGAN EKOR KUCING...

Malam berikutnya Diharzad berkata kepada kakaknya, Syahrazad, "Kak, jika engkau belum mengantuk, teruskanlah ceritamu yang indah dan aneh itu!" Syahrazad menyahut, "Dengan senang hati."

Dikisahkan, wahai sang Raja, sufi kedua itu berkata kepada gadis itu bahawa dia menceritakan kepada si jin:

Jin, aku mendengar bahawa orang yang iri melemparkan orang yang membualnya iri ke dalam sumur tua. Sumur itu kebetulan dihuni oleh sekelompok jin yang menangkap tubuhnya dan, setelah menurunkannya sedikit demi sedikit, mendudukkannya di atas sebuah batu. Lalu mereka bertanya satu sama lain, "Tahukah engkau siapakah orang ini?" dan jawabannya adalah, "Tidak."

Tetapi salah seorang di antara mereka berkata, "Orang ini adalah orang yang membuat iri yang, kerana menghindari orang yang iri, mendatangi kota kita untuk tinggal di sini, membangun tempat pertapaan ini, dan sejak itu menghibur kita dengan doa-doanya dan bacaan-bacaan Al- Qur'annya. Tetapi orang yang iri itu terus mengikutinya hingga dia menemukannya, menipunya dan melemparkannya ke dalam sumur ini tempat kita berada sekarang.

Kebetulan malam ini juga kemasyhuran orang ini telah menarik perhatan raja di kota kita, dan dia merancang untuk mengunjunginya esok pagi, berkenaan dengan masalah puterinya."

Seseorang bertanya kepadanya, "Ada apa dengan puterinya itu?"

Dia menjawab, "Dia sedang kerasukan, sebab jin Maimun ibn Damdam tergila-gila padanya, tetapi jika orang ini mengetahui ubatnya, dia pasti dapat menyembuhkannya. Ubatnya sebenarnya sangat mudah."

Salah seorang di antara mereka bertanya, "Apakah ubatnya?"

Dia menjawab, "Orang ini di tempat pertapaannya mempunyai seekor kucing hitam dengan bintik-bintik putih berukuran satu dirham di hujung ekornya. Jika dia mencabut tujuh rambut putih dari titik putih itu, membakarnya dan mengasapi gadis itu dengan asap darinya, maka jin itu akan keluar dari tubuhnya, tak akan dapat kembali lagi, dan dia akan terubati pada saat itu juga."

Kesemua percakapan jin itu didengar oleh orang yang di- campakkan ke dalam perigi itu. Ketika fajar menyingsing, para pendeta keluar pada pagi hari dan mendapati orang suci itu memanjat keluar dari perigi, sehingga dia semakin dihormati di kalangan mereka. Lalu orang yang membuat iri itu berusaha mencari si kucing hitam dan setelah dia menemukannya, dia mencabut tujuh rambut dari titik putih pada ekornya dan menyimpannya.

Sementara itu ketika matahari baru saja terbit, sang raja tiba dengan pasukannya. Dia turun dari kudanya bersama para bangsawan kerajaan, memerintahkan pasukannya untuk berdiri di luar. Ketika dia memasuki pertapaan, orang yang membuat iri menyambutnya dan setelah mempersilakan sang raja duduk di sampingnya, ia bertanya, "Akankah hamba katakan penyebab kedatangan Paduka?"

Sang raja menjawab, "Ya."

Orang yang membuat iri melanjutkan, "Paduka datang mengunjungi hamba dengan maksud untuk menanyakan kepada hamba tentang puteri Paduka."

Raja berkata, "Wahai hamba Allah, engkau benar."

Orang yang membuat iri berkata, "Perintahkan seseorang untuk menjemputnya, dan insya Allah, dia akan sembuh dengan segera."

Sang raja dengan gembira memerintahkan untuk menjemput puterinya, dan mereka membawanya menghadap, dalam keadaan terikat dan terbelenggu. Orang yang membuat iri mendudukkannya di sebalik gorden dan setelah mengambil rambut-rambut itu, membakarnya dan mengasapi gadis itu dengan asapnya. Pada saat itu jin yang merasuk dalam tubuhnya menjerit keras dan keluar dari tubuh gadis itu. Gadis tersebut dengan segera mendapatkan kembali kesedarannya, menutupi wajahnya seraya bertanya, "Apa yang telah terjadi padaku dan siapa yang membawaku ke sini?"

Sang raja merasa sangat gembira, dan dia menciumi mata puterinya dan mencium tangan orang suci itu. Lalu sambil berpaling pada para bangsawan kerajaan, dia bertanya, "Bagaimana pendapat kalian mengenai hal ini, dan apa yang patut diterima oleh orang yang telah menyembuhkan puteriku?"

Mereka menjawab, "la patut menerima puteri Paduka sebagai isterinya."

Raja berkata, "Kalian benar."

Lalu dia mengahwinkan puterinya dengannya, dan orang yang membuat iri itu menjadi anak menantu raja. Tak lama kemudian wazir kerajaan itu meninggal, dan raja bertanya, "Siapa yang harus kulantik sebagai wazir?"

Mereka menjawab, "Anak menantu Paduka," dan orang yang membuat iri itu dilantik menjadi wazir. Tak lama kemudian, sang raja pula meninggal. Para pembesar kerajaan bertanya satu sama lain, "Siapa yang akan kita lantik sebagai raja?" Jawabannya adalah, "Wazir itu," sehingga orang yang membuat iri itu menjadi seorang bangsawan. raja yang berkuasa.

Suatu hari, ketika dia sedang mengenderai keretanya kencananya....

Tetapi fajar menyingsing, dan Syahrazad menghentikan ceritanya. Lalu Dinarzad berkata, "Kak, alangkah menghairankan dan menariknya kisah itu!" Syahrazad menyahut, "Esok malam aku akan menceritakan kepadamu sesuatu yang lebih aneh, lebih menghairankan dan lebih menarik, jika sang raja mengizinkanku dan membiarkan aku hidup!"

*****************************************

EPISOD 49 : KISAH KERA YANG PANDAIMENULIS...

 

Malam berikutnya Dinarzad berkata kepada kakaknya, Syahrazad, "Kak, jika engkau belum mengantuk, teruskanlah ceritamu yang indah dan aneh itu!" Syahrazad menyahut, "Dengan senang hati."

Hamba mendengar, wahai sang Raja, sufi kedua itu berkata kepada si gadis bahawa dia bercerita kepada si jin:

Suatu hari, ketika orang yang membuat iri itu mengenderai kereta kencananya bersama para pangeran, wazir dan para bangsawan kerajaan, pandangannya tiba-tiba tertumbuk pada orang yang pernah mencampakkannya ke dalam perigi tua. Dia mengarahkan salah seorang wazirnya dan memerintahkan padanya, "Bawalah orang itu ke hadapanku, tetapi Jangan membuatnya gelisah atau takut."

Sang wazir pergi dan kembali bersama jiran yang iri itu. Raja berkata, "Berikan padanya seribu potongan emas dari perbendaharaanku, sediakan untuknya dua puluh peti barang dagangan, dan kawal dia hingga sampai di kotanya,"Lalu orang yang membuat iri itu mengucapkan selamat jalan padanya dan pergi tanpa mencelanya atas apa yang telah dilakukannya terhadap dirinya.

Aku berkata kepada jin itu, "Wahai jin, renungkanlah belas kasihan dari orang yang membuat iri terhadap orang yang iri padanya, yang telah memendam rasa iri itu sejak awal-awal lagi, melakukan tindakan jahat terhadapnya, mengejarnya, mengikutinya dan melemparkannya ke dalam perigi untuk membunuhnya. Namun orang yang membuat iri itu tidak membalas dengan tindakan yang serupa, dan bukannya menghukum orang yang iri, dia justru memaafkannya dan memberinya hadiah-hadiah dengan penuh kedermawanan."

Lalu aku meratap hingga aku tidak mampu meratap lagi dan mengumandangkan sajak berikut ini:

Ampuni kejahatanku, sebab setiap hakim yang besar
Sering menunjukkan belas kasihan pada pelaku kesalahan.
Aku berdiri di hadapanmu menanggung segala dosa,
Tetapi engkaulah jalan kurnia dan belas kasihan.
Sebab dia yang mencari ampunan dari yang di atas,
Hendaknya memaafkan pelaku kesalahan di bawahnya.

Jin itu menyahut, "Aku tidak akan membunuhmu, tetapi aku sama sekali tidak akan memaafkanmu dan membiarkanmu pergi begitu saja. Aku menghindarkanmu dari kematian, tetapi aku akan menyihirmu."

Lalu dia menarikku dan terbang bersamaku ke atas hingga tanah nampak bagaikan awan putih. Dengan segera dia menurunkan aku di atas sebuah gunung dan setelah mengambil segenggam debu, membacakan beberapa mantera dan memercikku dengan debu itu, sambil berkata, "Tinggalkan bentukmu yang sekarang dan ambillah bentuk seekor kera."

Pada saat itu juga, aku berubah menjadi seekor kera, manakala jin itu menghilang serta meninggalkanku. Ketika aku menyedari bahawa aku telah menjadi seekor kera, aku meratapi diri sendiri dan menyalahkan kehidupan yang tidak adil pada semua orang. Lalu aku menuruni gunung dan sampai ke sebuah gurun yang sangat luas, yang kuharungi selama satu bulan hinggalah aku tiba di sebuah pantai. Ketika aku berdiri di pantai, memandang ke laut, di kejauhan sebuah kapal yang sedang berlayar di tengah angin yang kencang dan memecah ombak. Aku menghampiri sebatang pohon dan setelah mematahkan sebuah cabang, mulai memberi isyarat kepada kapal tersebut dengan cabang itu, berlari kesana-kemari dan melambaikan cabang itu ke kanan dan ke kiri, tetapi kerana tidak mampu berbicara atau berseru meminta pertolongan, aku mulai merasa putus asa.

Tiba-tiba kapal itu berbalik dan mulai berlayar menuju pantai, dan ketika ia semakin mendekat, aku mendapati bahawa kapal itu adalah sebuah kapal yang besar, penuh berisi barang dagangan dan rempah-rempah serta barang-barang lainnya.

Ketika para pedagang itu melihatku berupa seekor kera, mereka berkata kepada nakhodanya, "Engkau telah mempertaruhkan nyawa dan harta benda kami demi seekor kera, yang membawa sial bersamanya ke mana pun kita pergi."

Salah seorang di antara mereka berkata, "Biar kubunuh dia."
Yang lain berkata, "Biar kupanah dengan anak panah."
Dan ada pula yang berkata, "Mari kija tenggelamkan ia."

Ketika aku mendengar apa yang mereka katakan, aku melompat dan memegang lengan baju nakhoda bagaikan orang yang sedang memohon perlindungan, sementara air mata mulai mengalir di pipiku. Nakhoda dan semua pedagang itu sangat terkejut, dan sebahagian di antara mereka mulai merasa kasihan padaku. Lalu nakhoda itu berkata, "Para pedagang, kera ini telah memohon perlindungan padaku dan aku mengambil tanggung jawab untuk memeliharanya. Jangan ada di antara kalian yang menyakitinya dengan cara apa pun; jika tidak, maka dia akan menjadi musuhku."

Lalu nakhoda itu memeliharaku dengan baik, dan aku memahami apa saja yang dikatakannya dan aku menjalankan perintahnya, walaupun aku tidak dapat berbicara dengan lidahku.

Selama lima belas hari kapal itu berlayar di tengah angin yang kencang hingga kami tiba di sebuah kota besar, luas dan penduduknya sangat banyak tak terhingga. Baru saja kami memasuki pelabuhan dan melemparkan sauh, kami didatangi oleh para utusan raja di kota itu. Mereka menaiki kapal dan berkata, "Para pedagang, raja kami mengucapkan salam sejahtera atas kedatangan kalian dalam keadaan selamat, mengirimkan gulungan kertas ini, dan memerintahkan masing-masing kalian menulis sebaris kalimat di atasnya. Sebab wazir sang raja, orang yang ahli dalam masalah kenegaraan dan seorang penulis kaligrafi yang mahir, telah meninggal dunia, dan raja telah bersumpah bahawa dia tidak akan melantik seorang pun untuk menggantikannya, kecuali orang yang dapat menulis sebagaimana yang dilakukan wazir itu."

Lalu mereka menyerahkan kepada para pedagang itu segulung kertas, dan setiap pedagang yang boleh menulis, menuliskan sebaris kalimat. Ketika mereka sudah selesai, aku merebut gulungan kertas itu dari tangan mereka dan mereka berteriak serta menghardikku, khuatir aku akan melemparkan kertas itu ke laut atau merobeknya. Tetapi aku memberi isyarat kepada mereka bahawa aku ingin menulis di atasnya, dan mereka sangat hairan, sambil berkata, "Kami belum pernah melihat seekor kera menulis."

Nakhoda berkata kepada rakan-rakannya, "Biarkan ia menulis apa yang disukainya. Jika ia hanya mencoret-coret, aku akan memukulnya dan mengusirnya. Tetapi jika ia menulis dengan baik, aku akan mengangkatnya sebagai anak angkatku sebab aku belum pernah melihat seekor kera yang lebih cerdas dan lebih baik perangainya. Aku berharap anakku memiliki perangai dan kesopanan seperti yaag dimiliki kera ini."

Lalu aku memegang pena, mencelupkannya ke dalam wadah tinta, dan menulis baris-baris berikut ini dalam bahasa Arab bersenikan Ruqa’:

Catatan masa tentang kemurahan hati raja yang agung
Telah terhapuskan oleh kemurahan hatimu yang lebih agung.
Dari anak-anakmu
Tuhan tidak akan memisahkanmu,
Engkau, yang menyimpan kurnia ayah dan ibu.

Lalu di bawahnya, dalam tulisan Muhaqqiq yang indah, kutulis baris-baris berikut ini:

Penanya telah melimpahkan kurnia di mana-mana,
Dan tanpa pertolongan telah menolong setiap negeri.
Namun bahkan sungai Nil, yang menghancurkan bumi,
Tintanya tak cukup digunakan
oleh tangan yang begitu besar.
Aku bersumpah,
barang siapa memanfaatkanku untuk menulis,
Demi Tuhan Yang Esa dan Kekal,
Bahawa dia tak akan membiarkan seorang pun membantah
Mata pencahariannya dengan salah satu goresan penanya.

Lalu dalam tulisan Naskhi, kutulis baris-baris berikut ini:

Tidak ada penulis yang akan bebas dari kematian,
Tetapi apa yang ditulis tangannya akan disimpan masa.
Maka jangan menuliskan apa pun di atas kertas,
kecuali apa yang kau inginkan terbaca di Hari Kiamat.
Ketika peristiwa-peristiwa kehidupan dikutuk cinta kita
Dan kita akhirnya berpisah dalam kesedihan,
Kita kembali pada mulut bagaikan tinta untuk mengeluh,
Dan menyuarakan kesedihan perpisahan kita
dengan lidah pena.

Lalu dalam tulisan Tumar, kutulis baris-baris berikut ini:

Ketika kau membuka peti tinta anugerah
Dan kemasyhuranmu,
biarkan tinta itu menjadi kemurahan hati dan kurnia.
Tulis perbuatan-perbuatan yang baik dan dermawan
saat kau masih mampu;
Baik pena mahupun pedang
akan memuji perbuatan mulia seumpama itu.

Lalu aku menyerahkan gulungan kertas itu kepada mereka, dan mereka menerimanya kembali dengan penuh kehairanan....

Tetapi fajar menyingsing, dan Syahrazad menghentikan ceritanya. Lalu Dinarzad berkata kepada kakaknya, "Kak, betapa aneh dan menariknya kisah itu!" Syahrazad menyahut, "Ini belum apa-apa jika dibandingkan dengan apa yang akan kuceritakan kepadamu esok malam, jika aku masih hidup!"

***************************************** 

EPISOD 50 : KISAH KERA YANG DI SIHIR.....

Malam berikutnya Dinarzad berkata kepada kakaknya, Syahrazad, "Kak, jika engkau belum mengantuk, teruskanlah ceritamu yang indah dan aneh itu!" Syahrazad menyahut, "Dengan senang hati."

Dikisahkan, wahai sang Raja, sufi kedua berkata kepada gadis itu:

Para utusan mengambil gulungan kertas itu dan membawanya ke hadapan raja. Ketika raja melihatnya, tulisanku menyenangkan hatinya dan dia berkata, "Bawalah jubah kehormatan dan keldai betina ini kepada penulis sajak ini."

Mendengar titah raja itu, orang-orang pada tersenyum, dan ketika menyedari bahawa senyuman mereka telah membuat sang raja murka, mereka berkata, "Wahai Raja zaman ini penulis sajak ini adalah seekor kera."

Raja bertanya, "Benarkah apa yang kalian katakan?

Mereka menjawab, "Ya, demi anugerah Paduka, penulis syair adalah seekor kera."

Raja merasa sangat hairan dan berkata, "Aku ingin melihat kera itu." Lalu dia memerintahkan para utusannya pergi dengan membawa keldai betina dan jubah itu,

"Pakaikan jubah ini padanya, dudukkan ia di punggung keldai betina ini, dan bawalah ia padaku bersama dengan pemiliknya."

Ketika kami duduk di atas kapal, kami melihat para utusan raja tiba-tiba muncul lagi. Mereka memintaku dari nakhoda kapal, memakaikan jubah itu ke tubuhku dan, setelah mendudukkanku di punggung keldai betina, berjalan di belakangku suatu arak-arakan yang mengakibatkan timbulnya keributan besar di dalam kota.

Setiap orang keluar, berkerumun untuk melihatku dan menikmati pemandangan itu. Ketika aku hampir sampai ke hadapan raja, seluruh kota gempar dan orang-orang berbicara satu sama lain, "Sang raja telah mengambil seekor kera untuk menjadi wazirnya."

Ketika aku memasuki istana untuk menghadap raja, aku bersujud dan kemudian berdiri dan membungkuk tiga kali. Lalu aku mencium tanah sekali, di hadapan para bangsawan dan negarawan. Orang-orang yang hadir terhairan-hairan akan sopan santunku, terutama raja sendiri, yang berkata, "Ini merupakan suatu keajaiban." Lalu dia mengizinkan para pengikutnya pergi, hingga setiap orang pergi, kecuali raja sendiri, seorang pelayan, seorang Mamluk kecil, dan diriku. Lalu dia memerintahkan meja makan ditata untuknya, dan memberi isyarat kepadaku untuk makan bersamanya. Aku bangkit, mencium tanah di hadapannya, dan setelah membasuh tangan tujuh kali, aku kembali duduk bersila dan, sebagaimana kelaziman dalam aturan sopan santun, makan hanya sedikit. Lalu kuambil pena dan wadah tinta dan di atas sebuah papan menulis bait-bait berikut ini:

Merataplah burung burung yang telah direbus matang
dalam bumbu yang tajam rasanya
Berkabunglah dagingnya, entah dibakar atau digoreng,
Menangislah induk ayam dan puteri burung belibis
Dan burung goreng, walaupun ketika aku telah menangis.
Dua jenis ikan yang berbeza kini kuinginkan,
Disajikan di atas dua lapis roti,
penuh semangat walaupun sederhana,
Sementara di dalam kuali yang gemerincing di atas api
Telur-telur itu bagaikan mata yang dibakar dalam kesakitan,
Daging ketika dipanggang,
aduh, sungguh hidangan yang enak,
Disajikan dengan sayuran yang diacar;
itulah yang kuingini.
Di dalam buburku yang kumakan pada malam hari,
Ketika rasa lapar melilit, di bawah cahaya gelang.
Wahai jiwa, sabarlah, karena nasib kita yang berubah-uba.
Suatu hari menekan, hanya untuk membesarkan hati.

Sang raja membaca sajak itu dan merenung. Lalu menyingkirkan makanan itu, dan pelayan kepala menghidangkan anggur pilihan di dalam sebuah botol anggur yang bulat dan besar. Raja mula-mula minum dan menawariku. Lalu kucium tanah di hadapannya, minum sedikit dan menulis baris-baris berikut ini di atas botol anggur itu:

Untuk pengakuanku mereka membakarku dengan api
Dan mendapatiku diciptakan dengan daya tahan luar biasa.
Maka aku dilahirkan jauh tinggi
dari jangkauan tangan manusia
Dan diizinkan untuk mencium bibir gadis jelita.

Ketika raja membaca sajak itu, dia terhairan-hairan dan berkata, "Jika seseorang memiliki kemahiran seumpama ini, dia akan mengungguli semua orang di zamannya." Lalu dia meletakkan dihadapanku sebuah papan catur dan dengan sebuah isyarat menanyakan, "Kau boleh main?"

Aku mencium tanah di hadapannya dan mengangguk,"Ya." Lalu kami berdua menyusun buah-buah catur itu di atas papan dan mulai main, dan hasilnya tiada yang kalah. Kami main untuk kedua kalinya, dan aku menang. Lalu kami main untuk ketiga kalinya, dan aku menyerang dan menang lagi, sehingga sang raja hairan dan takjub sekali atas kemahiranku. Sekali lagi kuambil wadah tinta dan pena dan di atas papan catur kutulis bait-bait berikut ini:

Dua pasukan sepanjang hari
dengan senjata mereka bertanding,
Membawa perang itu selalu ke dalam fikiran.
Tetapi ketika malam tiba mereka berhenti
Keduanya pergi tidur di atas satu tilam.

Ketika raja membaca baris-baris itu, dia merasa kagum dan gembira, dan berkata kepada pelayan, "Hai Muqbil, pergilah menjemput tuan puterimu, Siti Husnun, dan katakan kepadanya bahawa ayahnya sang raja memerintahkannya untuk menghadap dan melihat kera yang aneh dan menikmati pemandangan yang menakjubkan ini."

Pelayan itu menghilang dan sebentar kemudian kembali bersama-sama puteri raja. Ketika gadis itu masuk dan melihatku, dia menutupi wajahnya dan berkata, "Wahai ayah, sudahkah ayah kehilangan kehormatan ayah sedemikian rupa sehingga memperlihatkan aku pada kaum lelaki?"

Kerana terkejut, raja bertanya, "Puteriku, tidak ada seorang pun di sini, kecuali Mamluk kecil ini, penasihatmu ini yang membesarkanmu, dan aku ayahmu. Dari siapa engkau sembunyikan wajahmu?"

Gadis itu menjawab, "Dari pemuda ini yang telah disihir oleh jin. Dia mengubahnya menjadi seekor kera setelah dia membunuh isterinya sendiri, puteri Aftimarus, raja dari Pulau Kayu Hitam. Orang ini yang ayah sangka seekor kera adalah seorang lelaki yang bijaksana, terpelajar dan sopan santun, lelaki yang beradab dan berbudi luhur."

Sang raja sangat hairan dan sambil memandangiku, bertanya, "Benarkah apa yang dikatakan puteriku?"

Aku menjawab dengan bahasa isyarat yang mengandungi erti, "Ya." Lalu dia menatap kepada puterinya dan bertanya, "Demi Tuhan, wahai puteriku, bagaimana engkau mengetahui bahawa dia disihir?"

Gadis itu menjawab, "Wahai ayah, sejak kanak-kanak ada seorang wanita tua yang cerdas dan pintar menemaniku, dan dia adalah seorang tukang sihir. Dia mengajarkan kepadaku ilmu sihir, dan aku meniru dan menghafal tujuh puluh macam sihir, yang dengan sebahagian terkecilnya saja, dalam waktu satu jam, aku akan mampu memindahkan batu-batu kota ini melewati Gunung Qaf dan samudera yang mengelilingi dunia ini."

Raja sangat hairan dan berkata kepada puterinya, "Wahai puteriku, semoga Tuhan melindungimu. Kau telah memiliki kekuatan yang sempurna selama ini, namun aku tidak pernah mengetahuinya. Demi hidupku, bebaskanlah dia dari sihir itu, agar aku dapat menjadikannya wazirku dan menikahkanmu dengannya."

Dia menjawab, "Dengan senang hati." Lalu dia mengambil sebuah pisau....

Tetapi fajar menyingsing, dan Syahrazad menghentikan ceritanya. Lalu Dinarzad berkata kepada kakaknya, "Kak, betapa aneh dan menariknya kisah itu!" Syahrazad menyahut, "Ini belum apa-apa jika dibandingkan dengan apa yang akan kuceritakan kepadamu esok malam, jika aku masih hidup!"

Nantikan sambungan Episod 51 dan seterusnya...
Kembali ke episod 1&2 Di sini
Dipetik dari buku
Himpunan Kisah-kisah Aneh dan Lucu...

No comments:

Post a Comment