Pada waktu Abu Hanifah sedang
berguru kepada Sheikh Hamad, ia pernah bermimpi melihat seekor babi ingin
mengukir batang pohon, lalu cabang pohon itu menundukkan rantingnya dan memukul
babi itu dengan pukulan yang keras sehingga ia lari dan menjerit-jerit
kesakitan.
Abu Hanifah ra lalu pergi menemui
gurunya dan menceritakan mimpinya itu. Ternyata gurunya sedang sedih. Maka ia
bertanya kepada gurunya, “Apa yang menyebabkan engkau bersedih hati, wahai Sheikh
Hamad?”
Sheikh Hamad menjawab, “Ada
beberapa orang atheis datang menemui raja negeri ini yang menyatakan
keyakinannya bahawa alam semesta ini terjadi dengan sendirinya tanpa diciptakan
oleh Allah. Lalu raja memerintahkan
kepadaku agar aku mengirimkan para ahli yang dapat menjelaskan permasalahannya
kepada mereka, apakah alam ini mempunyai Tuhan atau tidak. Kami sudah
bersepakat akan mengadakan perdebatan di suatu tempat tertentu. Hanya yang
sangat menyedihkanku, aku takut hal ini menimbulkan fitnah di tengah-tengah
masyarakat.”
Mendengar penuturan gurunya, Abu
Hanifah berkata, “Ya Sheikh Hamad, kini aku tahu tafsir mimpi yang hendak aku
tanyakan kepada guru. Seekor babi yang mendekati pohon itu ialah atheis itu,
sedangkan pohonnya adalah tok guru sendiri, dan ranting pohon yang mengusir babi
itu, InsyaAllah aku yang melakukannya dengan bukti. “Serahkan hal itu kepadaku,
wahai guru. Kalau mereka mengalahkan aku maka wajar saja kerana aku murid guru
yang terkecil. Kalau mereka berdebat dengan guru tentu mereka akan dikalahkan.
Sheikh Hamad menyetujui usul
muridnya itu. Maka berangkatlah Abu Hanifah ketempat yang dituju sebagai wakil
gurunya. Setibanya di tempat yang dimaksud, orang-orang atheis telah berkumpul.
Abu Hanifah lalu berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Sheikh Hamad merasa
masalah ini tidak harus ditanganinya sendiri , kerana itulah dia mengutusku.
Aku adalah salah seorang muridnya yang terkecil. Aku diberi amanat untuk
melanjutkan perdebatan dengan kamu semua. Mudah-mudahan kamu akan mendapatkan
jawapan yang jelas dan memuaskan.”
Maka perdebatan pun bermula
dengan para atheis memulakan pertanyaan.
BILA ALLAH ADA?
Atheis : Pada tahun berapa
Tuhanmu dilahirkan?
Abu Hanifah : Allah berfirman, “Dia
(Allah) tidak melahirkan dan tidak dilahirkan.
Atheis : Pada tahun berapa dia
berada?
Abu Hanifah : Dia berada sebelum
adanya segala sesuatu.
Atheis : Kami mohon diberi contoh
yang lebih jelas dari kenyataan!
Abu Hanifah : Angka berapa
sebelum angka empat?
Atheis : Angka tiga
Abu Hanifah : Angka berapa
sebelum angka tiga
Atheis : Angka dua.
Abu Hanifah : Angka berapa
sebelum angka dua?
Atheis : Angka satu.
Abu Hanifah : Angka berapa sebelum
angka satu?
Atheis : Tidak ada angka
(kosong).
Abu Hanifah : Kalau sebelum angka
satu tidak ada angka lain mendahuluinya, kenapa kamu hairan kalau sebelum Allah
yang Maha satu yang hakiki, tidak ada yang mendahului-Nya?
MAKSUD ALLAH MENGHADAPKAN WAJAH
Atheis : Ke mana Tuhanmu
menghadapkan wajahnya?
Abu Hanifah : Kalau kamu membawa
lampu di gelap malam, kemana lampu itu menghadapkan wajahnya?
Atheis : Ke seluruh penjuru.
Abu Hanifah : Kalau demikian
halnya dengan lampu yang cuma buatan itu, bagaimana dengan Allah Ta’ala, nur
cahaya langit dan bumi?
ZAT ALLAH
Atheis : Tunjukkan kepada kami
tentang zat Tuhanmu, apakah ia benda padat seperti besi, atau cair seperti air
atau mengwap seperti gas?
Abu Hanifah : Pernahkah kamu
mendampingi orang sakit yang akan meninggal?
Atheis : Ya pernah.
Abu Hanifah : Bermula ia berbicara
dengan kamu dan menggerak-gerakkan anggota tubuhnya, lalu tiba-tiba ia diam dan
tidak bergerak. Nah! Apa yang menimbulkan perubahan itu?
Atheis : Kerana rohnya telah
meninggalkan tubuhnya.
Abu Hanifah : Apakah waktu
keluarnya roh itu kamu masih ada di sana?
Atheis : Ya masih ada.
Abu Hanifah : Ceritakanlah
kepadaku, apakah rohnya itu benda padat seperti besi atau cair seperti air atau
mengwap seperti gas?
Atheis : Entahlah, kami tidak
tahu.
Abu Hanifah : Kalau kamu tidak
mengetahui bagaimana zat maupun bentuk roh yang hanya sebuah makhluk, bagaimana
kamu dapat memaksaku untuk mengutarakan zat Allah Ta’ala?!!!
DI MANA ALLAH
Atheis : Dimana kira-kira Tuhanmu
itu berada?
Abu Hanifah : Kalau kami membawa
segelas susu segar kesini, apakah kamu yakin kalau dalam susu ini terdapat zat
minyaknya (lemak)?
Atheis : Tentu
Abu Hanifah : Tolong perlihatkan
kepadaku, dimana adanya zat minyak itu?
Atheis : Membaur (bercampur) dalam
seluruh bahagiannya.
Abu Hanifah : Kalau minyak yang
makhluk itu tidak mempunyai tempat khusus dalam susu tersebut, apakah layak
kamu meminta kepadaku untuk menetapkan tempat Allah Ta’ala?
TAKDIR ALLAH
Atheis : Kalau segala sesuatu
sudah ditakdirkan sebelum diciptakan, lalu apa Tuhanmu buat sekarang?
Abu Hanifah : Ada pekerjaan-Nya
yang dijelaskan dan ada pula yang tidak dijelaskan.
Atheis : Kalau ada orang masuk ke
syurga itu ada awalnya, kenapa tidak ada akhirnya? Kenapa di syurga kekal
selamanya.
Abu Hanifah : Hitungan angka pun
ada awalnya tapi tidak ada akhirnya.
Atheis : Bagaimana kita dapat
makan dan minum di syurga tanpa buang air besar dan kecil?
Abu Hanifah : Kamu sudah
mengamalkannya ketika kamu ada di dalam perut ibu kamu. Hidup dan makan minum
selama Sembilan bulan, akan tetapi tidak pernah buang air kecil dan besar di
sana. Baru kita melakukan dua hajat tersebut setelah keluar berapa saat ke
dunia.
Atheis : Bagaimana kebaikan
syurga akan bertambah dan tidak akan habis-habisnya jika dengan dinafkahkan?
Abu Hanifah : Allah juga
menciptakan sesuatu di dunia, bila dinafkahkan bertambah banyak seperti ilmu,
semakin diberikan ilmu kita, ianya semakin berkembang dan tidak berkurang.
BUKTI ADANYA ALLAH
Atheis : Perlihatkan bukti keberadaan
Tuhanmu kala memang Dia ada!
Abu Hanifah ra berbisik kepada
khadamnya agar mengambil tanah liat lalu dilemparkannya tanah liat itu ke
kepala pemimpin orang atheis itu. Para hadirin gelisah melihat peristiwa itu,
khuatir terjadi keributan. Tetapi Abu Hanifah menjelaskan bahawa hal ini dalam
rangka untuk menjelaskan jawapan yang diminta kepadanya. Hal ini membuat orang
atheis itu mengerutkan dahi.
Abu Hanifah : Apakah lemparan itu
menimbulkan rasa sakit di kepala tuan?
Atheis : Ya, tentu saja.
Abu Hanifah : Dimana letaknya
sakit?
Atheis : Ya, ada pada lukanya
ini.
Abu Hanifah : Tunjukkanlah
kepadaku kalau sakitmu itu memang ada, baru aku menunjukkan kepadamu dimana
adanya Tuhanku!
Kaum atheis tidak dapat menjawab
dan tentu saja tidak dapat menunjukkan rasa sakitnya kerana itu adalah sesuatu
rasa dan ghaib tapi rasa sakit itu memang ada.
Atheis : Baik dan buruk sudah
ditakdirkan sejak azali tetapi kenapa ada pahala dan siksa?
Abu Hanifah : Kalau tuan sudah
mengerti bahawa baik dan buruk itu bahagian dari takdir, mengapa tuan kini
menuntut agar aku dihukum kerana telah melempar tanah liat ke dahi tuan? Bukankah
perbuatanku itu sebahagian dari takdir.
Akhirnya perdebatan itu berakhir
dengan masuk islamnya para atheis tersebut di tangan Imam Abu Hanifah Radhiallahuanhu.