EPISOD 34 : KEDATANGAN KHALIFAH
Malam berikutnya Dinarzad berkata kepada kakaknya,
Syahrazad, "Kak, jika engkau belum mengantuk, teruskanlah ceritamu yang
indah dan aneh itu!" Syahrazad menyahut, "Dengan senang hati."
Hamba mendengar, wahai sang Raja, para sufi itu, yang telah terpengaruh dengan minuman anggur, minta diambilkan alat-alat musik. Si penjaga
pintu membawakan mereka sebuah rebana, sebuah suling dan sebuah alat musik
Parsi. Sufi-sufi itu bangkit, masing-masing mengambil alat-alat musik itu dan
mula memainkannya dan menyanyi, hingga gadis-gadis itu pun turut bernyanyi
bersama mereka dengan suara yang sangat keras. Ketika mereka sedang bermain
musik dan bernyanyi, mereka mendengar ketukan di pintu. Si penjaga pintu pergi
untuk melihat apa yang terjadi.
Nah, penyebab dari ketukan itu, adalah pada malam itu juga
Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Jaafar
datang ke kota itu, sebagaimana yang biasa mereka lakukan sekali-sekala.
Ketika mereka sedang berjalan-jalan, mereka melewati pintu itu dan mendengar musik yang berasal dari
suling dan rebana serta nyanyian gadis-gadis itu, juga suara orang-orang yang
seolah-olah sedang berpesta dan tertawa riang. Sang Khalifah berkata,
"Jaafar, aku ingin masuk ke rumah itu dan mengunjungi orang-orang di
dalamnya."
Jaafar
menyahut, "Wahai Pemimpin Kaum Beriman, mereka ini adalah orang-orang yang
sedang mabuk dan yang tidak mengenali siapa kita. Hamba khuatir mereka mungkin
akan menghina kita dan bersikap kasar terhadap kita kerana tidak mengenali
kita."
Sang
Khalifah menjawab, "Jangan membantah. Aku harus masuk dan aku mempunyai
alasan supaya kita dapat masuk."
Jaafar
menyahut, "Hamba mendengar dan patuh"
Lalu Jaafar
mengetuk pintu. Ketika si penjaga pintu datang dan membuka pintu, Jaafar
melangkah maju, mencium tanah di hadapannya dan berkata, "Wahai tuan, kami
adalah pedagang-pedagang dari kota Mosul, dan kami telah berada di Baghdad
selama sepuluh hari. Kami telah membawa serta barang-barang dagangan kami dan
menginap di sebuah rumah penginapan. Malam ini seorang pedagang dari kota tuan
menjemput kami ke rumahnya dan menawarkan kami makanan dan minuman. Kami minum
dan bersenang-senang dan menjemput sekelompok pemusik dan gadis-gadis penyanyi
dan menjemput kawan-kawan kami lainnya untuk bergabung dengan kami. Mereka
semua datang dan kami bergembira-ria, mendengarkan gadis-gadis itu meniup
seruling, memukul rebana dan bernyanyi. Tetapi ketika kami sedang
bersenang-senang, ketua polisi menyerang tempat itu, dan kami berusaha
melarikan diri dengan melompat dari dinding. Sebahagian dari kami ada yang
patah tangan dan kakinya dan ada pula yang ditahan untuk disoal siasat,
sementara sebahagian yang lain berjaya melarikan diri dengan selamat. Kini kami
datang untuk mencari perlindungan di rumah tuan, sebab sebagai orang-orang asing
di kota tuan, kami khuatir jika kami terus berjalan di jalanan, polis akan
menangkap kami. Jika kami masuk ke rumah penginapan, kami akan terkunci di
luar, sebab telah menjadi peraturan di sana, bahawa penginapan itu tidak akan
dibuka hingga matahari terbit.
Ketika kami melewati rumah tuan, kami mendengar suara musik dan keributan sebuah pesta dan berharap agar tuan bermurah hati untuk membiarkan kami ikut menikmati sisa malam, walaupun kami harus membayarnya. Jika tuan menolak kami, biarkanlah kami tidur di lorong sempit hingga pagi, dan Tuhan akan memberi pahala kepada tuan. Kami menyerahkan masalah ini pada tuan yang bermurah hati dan keputusannya tergantung tuan, tetapi kami tidak akan pergi dari pintu tuan."
Setelah si
penjaga pintu mendengar apa yang dikatakan Jaafar, memandaag pakaian mereka,
dan melihat bahawa mereka wajar dihormati, dia kembali menjumpai
saudara-saudaranya dan mengulangi kisah Jaafar. Gadis-gadis itu merasa kasihan
pada mereka dan berkata, "Biarkan mereka masuk," dan dia menjemput
mereka untuk masuk
Ketika sang
Khalifah, bersama dengan Jaafar dan *Masrur memasuki ruangan, semua orang termasuk gadis-
gadis, para sufi dan pemuda tersebut bangkit untuk menyambut mereka, kemudian
mereka duduk kembali....
Tetapi fajar menyingsing, dan Syahrazad menghentikan
ceritanya. Lalu adiknya berkata, "Kak, alangkah indah dan menariknya kisah
itu!" Syahrazad menyahut, "Ini belum apa- apa jika dibandingkan
dengan apa yang akan kuceritakan kepadamu esok malam, jika sang raja mengizinkanku
membiarkan aku hidup."
*Masrur : Seorang yang berkulit hitam,
pengawal peribadi Khalifah Harun Ar-Rasyid.
*********************************
EPISOD 35 : KISAH DUA EKOR ANJING
Malam
berikutnya Dinarzad berkata kepada kakaknya, Syahrazad, "Kak, jika engkau
belum mengantuk, teruskanlah ceritamu yang indah dan aneh itu!" Syahrazad
menyahut, "Dengan senang hati."
Dikisahkan,
wahai sang Raja, ketika sang khalifah bersama dengan Jaafar dan Masrur masuk
dan duduk, gadis itu menatap mereka dan berkata, "Tuan-tuan diterima
dengan senang hati, dan kami gembira menjadikan tuan-tuan sebagai tamu kami,
tetapi dengan syarat-syarat."
Mereka
bertanya, "Apakah syarat tuan?"
Gadis itu
menjawab, "Bahawa tuan boleh melihat tetapi tidak boleh berbicara dan
tidak boleh menanyakan apa pun yang tuan saksikan. Tuan tidak boleh
membicarakan apa yang tidak ada hubung kaitnya dengan diri tuan; kalau tidak,
maka tuan akan mendengar apa yang tidak akan menyenangkan hati tuan."
Mereka
menyahut, "Ya, sekehendak tuan, sebab kami tidak merasa perlu ikut
campur."
Setelah puas
dengan penjelasan mereka, gadis-gadis itu duduk menghibur mereka, minum dan
bercakap-cakap dengan mereka. Sang Khalifah merasa hairan ketika melihat ketiga
sufi itu, yang masing-masing mata kanannya buta. Lebih-lebih lagi Khalifah
merasa hairan melihat gadis-gadis dengan kecantikan, daya tarik dan kemurahan
hatinya, berada di sebuah tempat yang begitu indah, dengan sekelompok pemusik
yang terdiri dari tiga orang sufi bermata satu. Tetapi dia merasa bahawa pada
saat itu dia tidak dapat mengajukan pertanyaan apa pun.
Mereka terus
berbincang-bincang dan minum, kemudian para sufi itu bangkit, membungkuk, dan
kembali memainkan musik lalu mereka duduk dan mengangkat cangkir itu
berkeliling. Ketika anggur itu telah menunjukkan pengaruhnya, tuan rumah
bangkit, membungkuk, dan sambil menggandeng tangan si gadis yang berbelanja, ia
berkata, "Saudaraku, mari kita lakukan tugas kita."
Kedua
saudaranya menyahut, "Baiklah."
Si penjagapintu
bangun, membersihkan meja, membuang sisa makanan dan kotoran, mengisi kemenyan
dan membersihkan ruangan itu. Lalu dia menyuruh sufi-sufi itu duduk di atas
sebuah sofa pada satu sisi ruangan, dan mengarahkan sang Khalifah, Jaafar dan
Masrur duduk pada sofa lainnya. Lalu dia berteriak kepada si pemuda,
"Engkau sangat malas. Bangunlah dan bantu kami, sebab engkau menjadi
anggota rumah tangga ini."
Si pemuda
bangun dan sambil mempersiapkan dirinya, ia bertanya, "Ada apa?"
Gadis itu
menjawab, "Berdirilah di tempatmu."
Lalu si
gadis yang berbelanja meletakkan sebuah kerusi di tengah-tengah ruangan,
membuka sebuah lemari dan berkata kepada si pemuda, "Ke sinilah dan bantu
aku."
Ketika si
pemuda mendekat, dia melihat dua ekor anjing pemburu betina berwarna hitam
dengan rantai di lehernya di dalam sebuah lemari. Gadis itu mengeluarkan anjing
tersebut dan menuntunnya ke tengah-tengah ruangan. Sambil mengatakan,
"Inilah saatnya melakukan tugas kami," si tuan rumah maju, menggulung
lengan bajunya, mengambil cambuk anyaman, dan memanggil si pemuda,
"Bawakan aku salah seekor anjing itu."
Si pemuda
mengheret salah seekor anjing itu pada rantainya dan membawanya maju, sementara
haiwan tersebut meratap dan menggeleng-gelengkan kepalanya ke arah gadis itu.
Ketika si pemuda berdiri memegang rantai, si gadis mendatangi anjing itu dengan
cambukan keras pada pinggangnya, sehingga haiwan tersebut meraung dan meratap.
Si gadis terus mencambuki anjing itu sampai tangannya letih. Lalu dia berhenti,
melempar cambuk itu, dan sambil meminta rantai dari si pemuda, memeluk anjing
itu dan mulai menangis. Anjing itu pun mulai menangis, hingga keduanya menangis
bersama dalam waktu yang cukup lama. Lalu gadis itu mengusap air mata si anjing
dengan sapu tangannya, mencium kepalanya dan berkata kepada si pemuda,
"Bawalah dia kembali ke tempatnya, dan bawakan aku anjing yang satu
lagi."
Si pemuda membawa binatang itu ke lemari dan mengeluarkan anjing yang seekor lagi kepada gadis itu, yang memperlakukannya sebagaimana dia memperlakukan terhadap anjing yang pertama tadi, mencambukinya hingga pengsan. Lalu dia mengambil anjing itu, menangis bersamanya, mencium kepalanya, dan menyuruh si pemuda membawanya kembali pada saudaranya, dan si pemuda membawanya kembali.
Ketika
orang-orang yang berada di situ melihat apa yang terjadi, bagaimana gadis itu
mencambuki anjing tersebut hingga si anjing pengsan, dan bagaimana dia menangis
bersama anjing itu dan mencium kepalanya, mereka benar-benar hairan dan mulai
berbicara dalam hati masing-masing. Sang Khalifah sendiri merasa terganggu
perasaannya dan kehilangan kesabaran ketika dia terbakar oleh rasa ingin tahu
untuk mengetahui kisah tentang kedua anjing itu. Dia melirik kepada Jaafar,
tetapi Jaafar berbicara dengan isyarat,
"Ini
bukan waktunya untuk bertanya."
Ketika gadis
itu selesai menghukum kedua anjing tersebut, si penjaga pintu berkata
kepadanya, "Tuan puteriku, pergilah duduk di dipanmu, sehingga pada
giliranku, aku dapat memenuhi hasratku."
Sambil
berkata, "Baiklah," gadis itu pergi ke hujung ruangan dan duduk di
atas dipan, dengan sang Khalifah, Jaafar, dan Masrur duduk berdampingan di
sebelah kanannya dan para sufi serta pemuda itu di sebelah kirinya. Walaupun
lampu-lampu menyala, lilin-lilin dibakar dan kemenyan memenuhi tempat itu,
orang-orang itu merasa tertekan dan menyedari bahawa malam mereka telah
terganggu. Lalu si penjaga pintu duduk di atas kerusi…
Tetapi fajar
menyingsing, dan Syahrazad menghentikan ceritanya. Lalu Dinarzad berkata kepada
kakaknya, "Kak, betapa aneh dan menariknya kisah itu!" Syahrazad
menyahut, "Ini belum apa-apa jika dibandingkan dengan apa yang akan kuceritakan
kepadamu esok malam, jika aku masih hidup!"
*****************************************************
EPISOD 36 : GADIS YANG MEMAINKAN KECAPI
Malam
berikutnya, ketika sang raja telah bermesra dengan Syahrazad, Dinarzad berkata,
"Kak, jika engkau belum mengantuk, ceritakan kepada kami salah satu
ceritamu yang indah untuk mengisi malam." Syahrazad menyahut, "Dengan
senang hati."
Hamba
mendengar, wahai sang Raja, si penjaga pintu duduk di atas kerusi dan berkata
kepada saudaranya si gadis yang berbelanja, "Bangunlah dan berikan
hakku."
Gadis itu
bangkit, memasuki sebuah bilik dan segera kembali dengan membawa sebuah beg
dari kain kuning dengan dua helai sutera berwarna hijau yang dihiasi dengan
emas merah dan dua biji ambergris asli. Dia duduk di depan si penjaga pintu,
mengeluarkan alat musik sejenis kecapi dari beg itu, dan dengan satu sisi
kecapi melekat di atas lututnya, dia memegang kecapi di atas pangkuannya.
Kemudian dia memainkan kecapi itu dan, sambil menariknya dengan jari-jemarinya,
ia mulai memainkannya dan menyanyikan syair berikut ini:
Cintaku, engkaulah tujuan hidupku,
Dan engkaulah hasratku.
Bersamamu adalah kegembiraan ahadi.
Ketidakhadiranmu, api neraka.
Engkaulah kegilaan hidupku,
Satu-satunya berahiku,
Suatu cinta yang tak kenal malu,
Suatu pemujaan tak bercela.
Baju kesedihan yang kupakai
Mengungkapkan nafsuku yang tersembunyi,
Menghancurkan hatiku yang tergerak
Dan meninggalkanku dalam kebingungan.
Air mataku pada semua orang menyatakan cintaku.
Sebagaimana di atas pipiku mereka mengalir,
Air mataku yang curang menghancurkanku
Dan seluruh rahsiaku terbongkar.
Wahai, sembuhkan aku dari penyakitku yang mematikan;
Engkaulah penyakit dan ubatnya,
Tetapi dia yang kau obati akan lebih menderita lagi.
Matamu yang cemerlang telah menyia-nyiakan diriku,
Rambutmu yang hitam legam telah memperhambaku,
Pipimu yang kemerahan telah menaklukkanku
Dan menceritakan kisahku pada semua orang.
Penderitaanku adalah kesyahidanku,
Pedang cinta, kematianku.
Betapa sering orang yang paling baik
Menghentikan nafas mereka dengan car a ini?
Aku tidak akan berhenti mencintaimu,
Atau membuka apa yang tertutup.
Cinta adalah hukum dan ubat bagiku,
Entah tersembunyi entah terbuka.
Terpujilah mataku yang menatapmu,
Wahai pengungkapan yang mulia;
Yang telah meninggalkanku
dalam kebingungan, kesendirian,
Dalam pemujaan yang sia-sia.
Ketika gadis itu selesai dengan sajaknya, saudaranya menjerit keras dan meratap, "Oh, oh, oh!" Lalu dia menarik bajunya dan merobeknya, menelanjangi seluruh tubuhnya, dan jatuh pengsan. Ketika sang Khalifah memandangnya, dia melihat bahawa seluruh tubuhnya, mulai dari kepala hingga tumitnya, menunjukkan tanda-tanda hitam bekas cambukan. Kerana menyedari keadaan si gadis dan tidak tahu apa yang menyebabkannya begitu, sang Khalifah merasa terganggu, lalu dia berkata kepada Jaafar, "Demi Tuhan, aku tidak mahu menunggu sesaat pun hingga aku mengerti betul masalah ini dan minta penjelasan atas apa yang telah berlaku, mulai dari pencambukan gadis itu, pencambukan ke atas kedua anjing tadi, kemudian tangisan dan ciuman itu."
Jaafar menyahut, "Tuanku, kini bukan waktunya untuk
meminta penjelasan, terutama kerana mereka telah mengajukan syarat kepada kita
bahawa kita tidak boleh membicarakan apa yang tidak berkaitan dengan kita,
sebab sesiapa yang membicarakan apa yang tidak berkaitan dengan dirinya, akan
mendengar apa yang tidak akan menyenangkan hatinya."
Kemudian si gadis yang berbelanja bangkit dan, setelah
memasuki sebuah bilik, membawa keluar sebuah baju indah yang dipakaikannya pada
saudaranya, menukarkan baju yang telah dirobek saudaranya, dan duduk. Gadis itu
berkata kepada saudaranya, "Demi Tuhan, berilah aku minuman lagi,"
dan saudaranya mengambil cangkir, mengisinya, dan menyerahkannya padanya. Lalu
ia memegang kecapi itu di pangkuannya, mencuba sejumlah nada, dan menyanyikan
sajak berikut ini:
Jika aku menangisi kepergianmu, apa yang akan kau katakan?
Jika aku didera rindu, jalan mana yang kutempuh?
Jika aku mengirim seseorang untuk menceritakan kisahku,
Keluhan sang kekasih tak seorang pun dapat menyampaikan.
Jika aku dengan sabar berusaha menahan deritaku,
Setelah kehilangan cinta,
tak dapat kutahan hentaman itu.
Tiada yang tinggal kecuali kerinduan dan penyesalan
Dan air mata yang mengalir deras di pipi.
Engkau, yang telah lama menghilang dari pandanganku,
Dalam hatiku yang penuh cinta akan tinggal selamanya.
Engkaukah itu yang telah mengajariku bagaimana bercinta,
Dan janji cinta tak pernah menyimpang?
Ketika saudaranya menyelesaikan lagunya, gadis itu
berseru, "Oh, oh, oh!" dan, masih dikuasai oleh perasaannya, sekali
lagi ia menarik bajunya hingga robek. Lalu dia menjerit dan jatuh pengsan.
Sekali lagi si gadis yang berbelanja memasuki bilik dan keluar dengan baju yang
lebih indah lagi daripada sebelumnya. Lalu dia memerciki wajah saudaranya
dengan air mawar, dan ketika saudaranya sedar, dia memakaikan baju itu padanya.
Lalu saudaranya berkata, "Demi Tuhan, saudaraku, selesaikanlah tugasku
ini, sebab hanya tinggal satu lagu ini saja."
"Dengan senang hati," sahut saudaranya, dan dia
mengambil kecapi itu dan mulai bermain dan menyanyikan syair berikut ini:
Berapa lama aku harus menahan kehinaan yang kejam ini?
Tidakkah aku cukup membayarnya
dengan air mata dan ratapan?
Untuk berapa lama penderitaan ini sengaja kau abaikan,
Seakan-akan ia seorang musuh
yang penuh dendam dan iri hati?
Berhati-hatilah!
Cara-cara jahatmu mendatangkan derita pahit,
Tuan, kali ini tunjukkan belas kasihmu.
Wahai tuan, tuntutlah rasa cinta ini,
Yang kini tak kenal tidur atau sabar.
Adakah itu hukum cinta yang dinikmati cintaku,
Sementara aku sendiri pergi dengan tangan hampa?
Tuanku, biarkan dia menjadi rajaku yang tak adil;
Banyak kesukaran dan cubaan yang kualami,
Mungkin esok akan bertambah sukar
atau sebaliknya,
terserah kepada takdir
kurenungi nasib diriku yang lemah
Ketika dia selesai menyanyikan lagu itu.
Tetapi fajar menyingsing, dan Syahrazad menghentikan
ceritanya. Lalu Dinarzad berkata, "Kak, alangkah menghairankan dan
menariknya kisah itu!" Syahrazad menyahut, "Esok malam aku akan
menceritakan kepadamu sesuatu yang lebih aneh, lebih menghairankan dan lebih
menarik, jika sang raja mengizinkanku dan membiarkan aku hidup!"
***********************************************
EPISOD 37 : TUJUH ORANG LELAKI HITAM
Malam berikutnya, ketika sang raja telah bermesra dengan
Syahrazad, Dinarzad berkata, "Kak, jika engkau belum mengantuk, ceritakan
kepada kami salah satu ceritamu yang indah untuk mengisi malam." Syahrazad
menyahut, "Dengan senang hati."
Dikisahkan, wahai sang Raja, ketika gadis itu mendengar lagu
ketiga, dia berseru, "Demi Tuhan, ini bagus." Lalu dia menarik
bajunya dan merobeknya, dan ketika dia jatuh pengsan. dia menunjukkan pada
dadanya tanda-tanda hitam dan biru akibat cambukan. Para sufi itu bergumam,
"Kami berharap tidak pernah memasuki rumah ini, dan lebih suka melewatkan
malam di atas tumpukan sampah di luar kota, sebab kedatangan kami telah
dikotori oleh pemandangan yang begitu mengganggu perasaan."
Sang Khalifah menatap mereka dan bertanya, "Bagaimana
boleh begitu?"
Mereka menyahut, "Wahai tuan yang terhormat, fikiran
kami dikacaukan oleh masalah ini."
Khalifah bertanya, "Tetapi kalian adalah anggota rumah
tangga ini; barangkali kalian dapat menjelaskan padaku kisah tentang dua ekor
anjing dan gadis-gadis ini."
Mereka menyahut, "Demi Tuhan, kami sama sekali tidak
mengetahui dan kami tidak pernah melihat tempat ini sebelumnya."
Dengan penuh kehairanan, Khalifah berkata, "Kalau
begitu orang yang duduk di sampingmu ini mestinya mengetahui perkara ini."
Mereka mengalihkan pandangan kepada si pemuda, untuk
menyoalnya. Tetapi pemuda itu menyahut, "Demi Tuhan Yang Maha Besar, dalam
cinta semuanya sama, sebab meskipun saya dibesarkan di Baghdad, belum pernah
seumur hidup saya memasuki rumah ini hingga hari ini. Saya memang melewatkan
hari yang menakjubkan dengan mereka. Walaupun begitu, saya tetap tertanya-tanya
bagaimana keadaan mereka, semua wanita ini, hidup tanpa lelaki."
Mendengar itu para sufi berkata kepada pemuda itu,
"Demi Tuhan, kami anggap engkau sebagai salah satu dari mereka, tetapi
kini kami mengetahui bahawa engkau berada dalam kesukaran yang sama dengan
kami."
Kemudian Khalifah berkata, "Ditambah dengan Jaafar dan
Masrur, kita adalah lelaki bertujuh, sedangkan mereka wanita hanya bertiga
tanpa ada seorang lelaki pun. Marilah kita minta penjelasan kepada mereka; jika
mereka tidak mahu menjawab dengan suka rela, mereka akan menjawab kerana
terpaksa."
Mereka bersetuju untuk melaksanakan rancangan itu, tetapi
Jaafar berkata, "Ini tidak benar; biarkan saja mereka, sebab kita menjadi
tamu mereka dan, sebagaimana tuan-tuan ketahui, mereka telah menetapkan satu
syarat yang harus dipatuhi. Lebih baik kita tetap berdiam diri mengenai hal
ini, sebab malam tinggal sebentar lagi, dan segera kita akan mengambil jalan
sendiri-sendiri."
Lalu Jaafar menujukan pandangannya kepada sang Khalifah dan
berbisik padanya, "Wahai Pemimpin Kaum Beriman, bersabar- lah selama satu
jam terakhir malam ini, dan esok pagi hamba akan datang kembali dan membawa
mereka ke hadapan Paduka untuk menceritakan kisah mereka."
Tetapi sang Khalifah berteriak padanya, "Jahanam kau,
aku tidak dapat lagi menunggu untuk mendapatkan penjelasan tentang
mereka. Biarkan para sufi itu menyoal mereka."
Jaafar menyahut. "Ini bukan gagasan yang baik."
Lalu mereka bercakap-cakap beberapa lama dan mempermasalahkan siapa yang
pertama-tama harus mengajukan soalan. Akhirnya mereka semua setuju si pemudalah
yang harus maju. Ketika gadis-gadis itu mendengar keributan mereka, salah
seorang dari mereka bertanya, "Tuan-tuan, apa yang terjadi?"
Si pemuda mendekatinya dan berkata, "Tuan puteriku,
tuan- tuan ini mengungkapkan keinginan mereka agar kalian menceritakan kisah
tentang kedua anjing hitam itu dan mengapa engkau menghukum mereka dan kemudian
meratapi mereka. Mereka juga ingin mengetahui kisah saudaramu dan bagaimana
kejadiannya sehingga tubuhnya terkena luka cambukan, seperti seorang lelaki.
Itulah semuanya; itulah yang ingin mereka ketahui."
Sambil berpaling kepada mereka, gadis itu bertanya,
"Benarkah apa yang dikatakan pemuda ini tentang tuan-tuan?"
Mereka semua menjawab, "Ya," kecuali Jaafar yang
tinggal diam dan tidak menjawab sepatah kata pun. Ketika gadis itu mendengar
jawaban mereka, dia berkata, "Wahai tamu-tamuku, kamu semua telah
menyalahi kami. Bukankah kami telah mengemukakan pada tuan-tuan syarat-syarat
kami, bahawa siapa yang membicarakan apa yang tidak berkaitan dengan dirinya,
akan mendengar apa yang tidak akan menyenangkan hatinya. Kami membawa tuan-tuan
ke dalam rumah kami dan menyediakan makanan untuk tuan-tuan, tetapi tuan-tuan
ikut mencampuri urusan kami dan menyalahi kami. Walaupun demikian kesalahan
tuan-tuan tidak sebesar kesalahan pemuda ini yang membiarkan kalian masuk dan
membawa kalian kepada kami."
Lalu gadis-gadis itu menggulung lengan bajunya dan menghentakkan
lantai tiga kali sambil berteriak, "Segeralah keluar," dan sebuah
pintu terbuka, maka keluarlah tujuh orang lelaki hitam, dengan pedang terhunus
di tangan mereka. Lalu dengan gagang pedang, setiap lelaki hitam itu memukul
salah seorang tamu hingga terjatuh dengan wajahnya menghadap lantai, dan dalam
sekejap mata ketujuh tamu itu telah diikat tangannya dan diikat satu sama
lainnya. Kemudian mereka mengheret para tamu tersebut berbaris menuju ke
tengah-tengah ruangan. Masing- masing lelaki hitam itu berdiri dengan pedang
terhunus di atas kepala tamunya. Kemudian mereka berkata kepada si gadis,
"Wahai tuan puteri yang paling terhormat dan paling berbudi, izinkan kami
memenggal kepala mereka."
Gadis itu menjawab, "Tunggu sebentar sampai aku menyoal
mereka, sebelum engkau memenggal kepala mereka."
Si pemuda berseru, "Tuhan melindungiku. Wahai tuan
puteri, jangan membunuhku kerana kesalahan orang lain. Semua orang ini telah
membuat kesalahan dan melawan, kecuali aku. Demi , Tuhan, kita telah mengalami
hari yang menyenangkan. Kalau saja kita dapat membebaskan diri dari para sufi
bermata satu ini, yang kedatangannya ke setiap kota mendatangkan kutukan
padanya, menghancurkannya, dan menjadikannya puing!" Lalu dia mulai
meratap dan mengumandangkan sajak berikut ini:
Adillah ampunan dari orang-orang besar,
Dan yang paling adil,
jika ampunan ini diberikan kepada yang paling lemah.
Jangan putuskan persahabatan yang pertama
demi yang terakhir,
Dengan ikatan cinta yang telah tumbuh di antara kita.
Si gadis, walaupun sedang marah, tertawa dan sambil
mendatangi tamu-tamunya itu, ia berkata, "Katakan padaku siapa kamu, sebab
kamu hanya mempunyai waktu satu jam untuk hidup. Jika kalian bukan tokoh
terkemuka di kalangan masyarakat-atau penguasa yang kuat, pasti kalian tidak
akan berani menyalahi kami."
Khalifah berkata kepada Jaafar, "Celaka engkau! Katakan
padanya siapa kita, sebab silap sedikit saja kita akan terbunuh!"
Jaafar menyahut, "Inilah bahagian yang patut kita terima."
Sang Khalifah berteriak padanya, "Kini bukan waktunya engkau melucu."
Lalu gadis itu mendekati para sufi dan berkata, "Apakah kamu bersaudara?"
Mereka menjawab, "Demi Tuhan, wahai gadis, kami tidak bersaudara, juga kami bukan kaum faqir."
Lalu gadis itu menyoal salah seorang di antara mereka, "
Apakah engkau dilahirkan buta sebelah?"
Sufi itu menjawab, "Tidak, demi Tuhan, tuan puteri.
Adalah suatu kejadian yang aneh dan menghairankan yang menyebabkan aku
kehilangan mataku, mencukur janggutku, dan menjadi seorang sufi. Kisahku adalah
kisah yang, jika ia dilukiskan dengan jarum di sudut mata, akan menjadi
peringatan bagi mereka yang mahu berfikir."
Lalu gadis itu menyoal sufi kedua, dan dia mengatakan hal
yang sama. Lalu disoalnya pula sufi ketiga, ia pun mendapat jawaban yang sama.
Lalu mereka berkata, "Demi Tuhan, tuan puteri, kami
masing- masing berasal dari kota yang berbeza, dan kami masing-masing adalah
putera seorang raja, penguasa yang berkuasa ke atas seluruh kerajaan dan
rakyatnya."
Si gadis mengarahkan pandangannya kepada lelaki hitam itu
dan berkata, "Siapa pun yang menceritakan kisahnya dan menjelaskan apa
yang ada padanya dan apa yang telah membawanya ke tempat tinggal kita ini,
biarkan dia menghusap kepalanya dan pergi, tetapi siapa pun yang menolaknya,
penggallah kepalanya...."
Tetapi fajar menyingsing, dan Syahrazad menghentikan
ceritanya. Lalu Dinarzad berkata kepada kakaknya, "Kak, betapa aneh dan
menariknya kisah itu!" Syahrazad menyahut, "Ini belum apa-apa jika
dibandingkan dengan apa yang akan kuceritakan kepadamu esok malam, jika aku
masih hidup!"
*******************************************
EPISOD 38 : DI SEBUAH MAKAM DI TANAH PERKUBURAN
Malam berikutnya, ketika sang raja telah bermesra dengan
Syahrazad, Dinarzad berkata, "Kak, jika engkau belum mengantuk, ceritakan
kepada kami salah satu ceritamu yang indah untuk mengisi malam." Syahrazad
menyahut, "Dengan senang hati."
Hamba mendengar, wahai sang Raja, setelah gadis itu
berbicara, yang pertama maju adalah si pemuda sambil berkata, "Wahai
gadis, engkau tahu bahawa alasan saya datang ke tempat ini adalah kerana saya
dipekerjakan untuk memikul barang-barang belanjaan, yang membawa saya mulai
dari pedagang anggur ke tukang daging, dan dari tukang daging ke penjual sayur,
dan dari penjual sayur ke penjual buah-buahan, dan dari penjual buah-buahan ke
penjual makanan kering, lalu ke penjual manisan, penjual ubat, dan akhirnya ke
rumah ini. Itulah kisah saya."
Gadis itu berkata, "Usaplah kepalamu dan
pergi."
Tetapi dia menjawab, "Demi Tuhan, aku tidak akan
pergi sebelum mendengar kisah-kisah yang lain."
Lalu sufi yang pertama maju dan berkata "Tuan
puteri, penyebab mataku buta dan janggutku dicukur adalah sebagai berikut:
Ayahku adalah seorang raja, dan dia mempunyai seorang saudara yang juga menjadi raja, yang mempunyai seorang
anak lelaki dan seorang anak perempuan. Setelah bertahun-tahun berlalu dan kami
tumbuh membesar, kadangkala aku mengunjungi bapa saudaraku, tinggal bersamanya
selama sebulan atau dua bulan dan kembali menemui ayahku. Sebab di antara aku
dan anak bapa saudaraku telah tumbuh persahabatan yang erat dan rasa kasih
sayang yang mendalam.
Suatu hari aku mengunjungi saudara sepupuku dan dia
memperlakukan aku dengan kebaikan yang luar biasa. Dia menyembelihkan untukku
banyak kambing, menawariku anggur yang jernih, dan duduk bersamaku untuk minum.
Ketika anggur itu telah menghangatkan badan kami, sepupuku berkata,
"Saudara sepupu, aku ingin menunjukkan kepadamu sesuatu yang telah aku
persiapkan selama setahun penuh, asalkan engkau tidak berusaha untuk
menghalangiku."
Kujawab, "Dengan senang hati." Setelah dia menyuruhku bersumpah, dia bangkit dan dengan
cepat menghilang, tetapi sebentar kemudian dia kembali dengan seorang wanita
yang memakai mantel, sehelai sapu tangan dan hiasan kepala yang berbau sangat
harum hingga membuat kami menjadi semakin mabuk. Lalu dia berkata,
"Saudara sepupu, bawalah gadis ini dan pergilah di
depanku menuju sebuah makam di tanah perkuburan ini," sambil melakarkannya
hingga aku mengetahui tempat itu.
Lalu dia menambahkan, "Masuklah bersamanya ke dalam
makam itu dan tunggulah aku di sana."
Tanpa dapat mengajukan pertanyaan atau protes disebabkan
sumpah yang telah kuucapkan, kubawa gadis itu dan berjalan bersamanya sampai
kami memasuki tanah perkuburan dan duduk di dalam makam. Tak lama kemudian
sepupuku tiba, dengan membawa semangkuk air, satu beg mortir dan sebuah cangkul
besi. Dia langung menuju ke pusara, membongkarnya, lalu menyusun batu-batunya
di satu sisi. Dia meneruskan lagi penggaliannya ke dalam tanah pusara itu
hingga dia menemukan sebuah pelat besi, berukuran sebuah pintu kecil, yang
menutupi sepanjang dan selebar pusara. Dia mengangkat pelat itu, dan bawahnya
muncullah sebuah tangga berputar. Lalu dengan menatap kepada gadis itu, dia
berbicara dengan isyarat, "Tetapkan pilihanmu," lalu gadis itu
menuruni tangga dan menghilang. Kemudian sepupuku menatap wajahku seraya
berkata, "Saudara sepupu, ada satu lagi pertolongan yang kuminta."
Aku bertanya, "Apakah itu?"
Dia berkata, "Setelah aku turun ke tempat ini,
letakkan semula pelat besi dan tanah itu seperti semula...."
Tetapi fajar menyingsing, dan Syahrazad menghentikan
ceritanya. Lalu Dinarzad berkata kepada kakaknya, "Kak, betapa aneh dan
menariknya kisah itu!" Syahrazad menyahut, "Ini belum apa-apa jika
dibandingkan dengan apa yang akan kuceritakan kepadamu esok malam, jika aku
masih hidup!"
************************************
EPISOD 39 : SEPASANG MUDA MUDI YANG TELAH JADI ARANG
Malam berikutnya, ketika sang raja telah bermesra dengan
Syahrazad, Dinarzad berkata, "Kak, jika engkau belum mengantuk, ceritakan
kepada kami salah satu ceritamu yang indah untuk mengisi malam." Syahrazad
menyahut, "Dengan senang hati."
Hamba mendengar, wahai sang Raja, sufi pertama berkata
kepada gadis itu: Setelah aku melaksanakan petunjuk-petunjuknya, aku merasa
pening dan goyang, lalu bermalam di salah satu rumah bapa saudaraku, yang
diserahkannya padaku untuk kugunakan sebelum dia meneruskan perjalanan berburu.
Ketika aku bangun keesokan harinya dan mengingat kembali
kejadian-kejadian di malam sebelumnya, aku menyangka bahawa semua itu hanya ada
dalam mimpi. Kerana ragu-ragu dan bimbang, aku bertanya tentang saudara
sepupuku, tetapi tak seorang pun dapat memberitahukan tentang dia. Lalu aku
pergi ke tanah perkuburan dan mencari makam itu, tetapi aku tidak dapat
menemukannya atau mengingat apa pun tentang hal itu. Aku terus berjalan dari
satu makam ke makam lainnya dan dari satu pusara ke pusara lainnya, tanpa
berhenti untuk makan atau minum, hingga malam menjelang. Aku mulai khuatir
mengenai saudara sepupuku,
dan sementara aku tertanya-tanya dalam hati ke manakah
tangga berputar itu mengarah, aku mulai ingat akan kejadian-kejadian itu
sedikit demi sedikit, sebagaimana orang ingat akan apa yang terjadi dalam
mimpi. Akhirnya aku kembali ke rumah, makan sedikit, dan melewatkan malam yang
menggelisahkan. Setelah mengingat apa yang aku dan dia kerjakan malam itu,
keesokan harinya aku kembali ke tanah perkuburan dan berkeliling, mencari- cari
sampai malam tiba, tanpa menemukan makam itu atau mendapatkan jalan yang
mungkin akan menuntunku ke sana. Aku pun kembali ke tanah perkuburan untuk
ketiga dan keempat kalinya dan mencari-cari makam itu sejak pagi-pagi hingga
malam hari tanpa hasil, hingga aku hampir kehilangan akal karena sedih dan
khuatir.
Akhirnya, kerana menyedari bahawa aku tidak menemukan jalan
lain, kuputuskan untuk kembali ke kota ayahku. Ketika aku tiba di sana dan
memasuki gerbang kota, tiba-tiba aku diserang, dipukuli, dan diikat. Ketika aku
bertanya, "Apa sebabnya?" aku diberitahu, "Wazir telah
mengadakan perlawanan terhadap ayahmu dan mengkhianatinya. Melalui komplotan
dengan seluruh bala tentara, dia telah membunuh ayahmu dan merebut kekuasaannya
dan memerintahkan kami untuk mencarimu."
Lalu mereka membuatku pengsan dan membawaku ke hadapan sang
wazir.
Wahai gadis yang mulia, telah menjadi kenyataan bahawa wazir
itu dan aku saling bermusuhan, sebab akulah yang menyebabkan kebutaan salah
satu matanya. Kerana senang bermain panah, suatu hari aku berdiri di atas atap
istana, ketika seekor burung hinggap di istana wazir, yang secara kebetulan
juga sedang berdiri di atas atap istananya. Ketika aku menembak burung itu,
pelurunya tidak mengenainya tetapi justeru mengenai wazir dan menembus sudut
matanya. Itulah penyebab dendamnya terhadapku. Oleh itu, ketika mereka
membawaku ke hadapannya, dia mencucukkan jarinya ke mataku, mencongkelnya
keluar hingga darah mengalir di pipiku. Lalu dia mengikatku, menempatkanku
dalam sebuah peti, dan menyerahkan aku kepada ahli pedang ayahku sambil
berkata, "Tunggangi kudamu, hunus pedangmu dan bawa orang ini bersamamu ke
hutan belantara. Lalu bunuhlah dia dan biarkan haiwan-haiwan dan burung-burung
hutan memakan dagingnya."
Pengawal itu mengikuti perintah wazir dan membawaku ke hutan
belantara. Lalu dia turun dari kudanya, mengeluarkan aku dari peti dan
memandangku serta bersiap sedia untuk membunuhku. Aku meratap dengan sedih atas
apa yang telah terjadi pada diriku hingga membuatnya ikut meratap bersamaku.
Lalu sambil memandang padanya, aku mengumandangkan sajak berikut ini:
Kau kujadikan perisai dari anak panah musuh,
Tetapi ternyata engkaulah anak panah itu sendiri. Kuharapkan
bantuanmu ketika aku celaka, Sebagaimana tangan kiri membantu si tangan kanan,
Tapi berdirilah kau sebagai orang bebas, jauh dariku, Dan membiarkan musuh membidikkan panah mereka, Dan jika kau
tak dapat mempertahankan persahabatan kita, Antara dirimu dan aku tidak ada pertalian lagi.
Ketika pengawal itu mendengar sajakku, dia merasa kasihan
kepadaku lalu membatalkan niatnya untuk membunuhku dan membebaskanku sambil
berkata, "Larilah dan jangan kembali ke negeri ini, sebab mereka akan
membunuh engkau dan juga membunuhku. Sebagaimana sang penyair berkata:
Jika engkau mengalami ketidakadilan,
selamatkan dirimu,
Dan tinggalkan rumah
untuk berkabung atas pendirinya
Negerimu akan kau gantikan dengan yang lain,
Tetapi untuk dirimu,
engkau tak akan menemukan diri yang lain.
Atau dalam suatu tugas,
Jangan mempercayai orang lain,
Sebab tidak ada yang setia seperti dirimu.
Dan tidakkah singa berjuang sendiri,
la tak akan mencari mangsa sendiri.
Hampir tidak dapat mempercayai keselamatanku, kucium
tangannya sambil berfikir bahawa kehilangan mata bagiku jauh lebih baik
daripada harus kehilangan nyawa.
Lalu aku melakukan perjalanan perlahan-lahan hingga aku
mencapai kota bapa saudaraku. Ketika aku menemuinya dan menceritakan padanya
tentang kematian ayahku dan kehilangan mataku, dia berkata kepadaku, "Aku
pun mengalami dukacita yang cukup berat, sebab anakku hilang. Hingga kini aku
tidak tahu apa yang telah terjadi kepadanya, juga aku tidak menerima berita apa
pun tentang dirinya." Lalu dia meratap dengan sedih, menghidupkan kembali
kesedihan lamaku dan menimbulkan belas kasihanku. Kerana tidak mampu berdiam
diri, kuceritakan kepadanya apa yang telah dilakukan anaknya, dan dia merasa
sangat senang dan berkata, "Mari tunjukkan padaku makam itu."
Aku menjawab, "Demi Tuhan, bapa saudaraku, aku telah
lupa jalan ke sana, dan aku tidak tahu lagi yang mana satu makam itu."
Dia berkata, "Marilah kita pergi bersama."
Lalu aku dan bapa saudaraku mendatangi tanah perkuburan
itu dengan diam-diam. Ketika kami tiba di tengah-tengahnya, tiba-tiba saja aku
mengenali makam itu hingga merasa sangat gembira dengan harapan akan menunjukan
apa yang ada di sebalik tangga berputar itu dan apa yang terjadi terhadap
saudara sepupuku. Kami memasuki makam, membuka pusara, dan setelah membersihkan
tanahnya, menemukan pelat besi itu.
Bapa saudaraku berjalan di depan, dan kami menuruni
sekitar lima puluh anak tangga. Ketika kami mencapai anak
tangga yang paling bawah, kami melihat gulungan asap yang besar yang hampir
membutakan mata kami. Bapa saudaraku berseru, "Tidak ada kekuatan dan
kekuasaan, kecuali di tangan Tuhan Yang Maha Besar, Maha Kuasa."
Lalu kami melihat sebuah lorong. Ketika kami maju
sedikit, kami tiba di sebuah ruangan dengan tiang-tiang besar yang disinari
oleh atap yang terbuat dari kaca yang sangat tinggi. Kami berkeliling dan
melihat sebuah tangki air di tengah-tengahnya, melihat kendi-kendi besar dan
karung-karung yang penuh dengan tepung, biji-biji padi dan biji-bijian lainnya.
Di hujung ruangan pula kami melihat sebuah tempat tidur yang ditutupi dengan
sebuah kain cadar. Bapa saudaraku mendekati tempat itu, dan ketika dia
mengangkat cadar itu, dia menemukan anaknya dan gadis yang dahulu pergi
bersamanya, berbaring saling berpelukan, tetapi keduanya telah menjadi arang.
Seakan-akan mereka telah dilempar ke dalam api yang berkobar-kobar, yang
membakar mereka hingga mereka berubah menjadi arang.
Ketika bapa saudaraku melihat pemandangan ini, dia
mengungkapkan kepuasannya dan meludahi wajah anaknya sambil berkata,
"Inilah hukumanmu di dunia ini, tetapi masih ada hukuman yang menantimu di
dunia mendatang."
Lalu dia melepaskan kasutnya dan memukuli wajah anaknya
sekeras-kerasnya…
Tetapi fajar menyingsing, dan Syahrazad menghentikan
ceritanya. Lalu Dinarzad berkata, "Kak, alangkah menghairankan dan
menariknya kisah itu!" Syahrazad menyahut, "Esok malam aku akan
menceritakan kepadamu sesuatu yang lebih aneh, lebih menghairankan dan lebih
menarik, jika sang raja mengizinkanku dan membiarkan aku hidup!"
**********************************************************
EPISOD 40 : MENCUKUR JANGGUT DAN ALIS MATA...
Malam berikutnya, ketika sang raja telah bermesra dengan
Syahrazad, Dinarzad berkata, "Kak, jika engkau belum mengantuk, ceritakan
kepada kami salah satu ceritamu yang indah untuk mengisi malam." Syahrazad
menyahut, "Dengan senang hati."
Hamba mendengar, wahai Raja yang bahagia, sufi pertama
itu berkata kepada sang gadis:
Tuan puteri, ketika bapa saudaraku memukuli wajah anaknya
dengan kasut, sementara dia dan gadis itu terbaring di sana dalam tumpukan
arang, aku berkata kepadanya, "Demi Tuhan, bapa saudaraku, jangan
membuatku merasa semakin sedih. Aku merasa khuatir dan menyesal atas apa yang
menimpa anakmu. Namun sepertinya dia masih kurang cukup menderita, sehingga
engkau memukuli wajahnya dengan kasutmu."
Dia menyahut, "Wahai anak saudaraku, hendaklah
engkau mengetahui bahawa anakku ini tergila-gila kepada saudara perempuannya
sendiri, dan aku sering melarangnya untuk menemuinya tetapi sambil selalu
berkata kepada diriku sendiri, 'Mereka cuma anak-anak' Tetapi setelah mereka
dewasa, mereka melakukan perbuatan terkutuk seperti suami isteri dan aku
mendengar tentang hal itu, hampir tidak mempercayai telingaku sendiri. Aku
mengheretnya dan memukulinya tanpa belas kasihan sambil mengatakan,
"Hati-hati, hati-hatilah dengan perbuatan itu, kalau-kalau cerita kita
menyebar ke mana-mana bahkan ke wilayah-wilayah dan kota-kota yang jauh dan
engkau akan dipermalukan dan kehilangan maruah di kalangan para raja hingga
akhir zaman. Hati-hati, hati-hatilah, sebab gadis ini adalah saudaramu sendiri,
Tuhan telah melarangnya untuk kau miliki."
"Lalu, wahai anak saudaraku, aku memisahkan anak
perempuanku itu darinya. Tetapi gadis itu telah jatuh cinta kepadanya, sebab
syaitan telah membalikkan matanya dan membuat percintaan itu memikat hatinya.
Ketika mereka menyedari bahawa aku telah memisahkan mereka satu sama lain,
puteraku membangun dan mempersiapkan tempat di bawah tanah ini, menggali sumur
dan membawa apa pun yang mereka perlukan sebagai perbekalan sebagaimana yang
engkau lihat di sini. Kemudian, dengan memanfaatkan kepergianku berburu, dia
mengambil saudara perempuannya dan melakukan apa yang engkau saksikan dahulu
itu. Dia yakin bahawa dia akan bersenang-senang dengannya untuk jangka waktu
yang lama"
Lalu bapa saudaraku meratap, dan aku pun meratap
bersamanya. Lalu dia memandangku dan berkata, "Engkau menjadi anakku
sebagai penggantinya," dan ketika dia memikirkan tentang apa yang telah
terjadi kepada kedua anaknya itu, pembunuhan abangnya, dan kehilangan mataku,
dia kembali meratap dan aku meratap bersamanya atas cubaan-cubaan hidup dan
kemalangan- kemalangan di dunia ini. Lalu kami memanjat keluar dari pusara itu
dan aku memasang kembali tutup pelat besi itu di atas kuburan sepupuku dan
saudara perempuannya, dan tanpa diketahui oleh seorang pun, kami pulang
kembali. Tetapi baru saja kami mahu duduk, tiba-tiba kami mendengar suara-suara
genderang, terompet, hiruk-pikuk manusia, gemerincing pedang, ringkik kuda dan
perintah-perintah berbaris untuk berperang, sementara udara tertutup debu yang
mengepul akibat larinya kuda-kuda dan derap kaki manusia. Kami kebingungan dan
terkejut, dan ketika kami bertanya, kami diberitahu bahwa wazir yang telah
merebut kerajaan ayahku telah mengarahkan pasukan dan mempersiapkan tenteranya
dan mengambil banyak kaum Badwi untuk bekerja padanya bagi menyerang kami
dengan tenteranya yang bagaikan pasir gurun yang tak dapat dihitung dan tak
dapat ditahan oleh siapa pun kemaraan mereka. Mereka menguasai kota dengan
begitu cepat sekali, menawan seluruh penduduknya, yang tidak mampu mengadakan
perlawanan sedikit pun hingga mereka menyerahkan kawasan itu pada si wazir.
Bapa saudaraku mereka tangkap dan bunuh, sedangkan aku sendiri berjaya
melarikan diri ke luar kota sambil berfikir, jika aku jatuh ke tangan wazir
itu, dia pasti akan membunuhku dan membunuh Sayir, ahli pedang ayahku yang
telah bermurah hati membebaskan aku dahulu."
Kesedihanku bertambah-tambah dan kekhuatiranku semakin
besar, ketika aku memikirkan tentang apa yang telah menimpa bapa saudaraku dan
saudara-saudara sepupuku dan tentang kehilangan mataku, dan aku meratap dengan
sedih. Aku bertanya kepada diri sendiri, "Apa yang harus kulakukan? Jika
aku menunjukkan diriku di muka umum, penduduk kota dan seluruh tentera ayahku
akan mengenaliku sebagaimana mereka mengenali matahari dan akan berusaha
menunjukkan jasa kepada wazir dengan membunuhku."
Aku tidak dapat memikirkan cara lain untuk melarikan diri
dan menyelamatkan nyawaku kecuali mencukur janggut dan alis mataku. Maka aku
mengambil cara itu, menukar pakaianku dengan pakaian sufi pengemis, dan
menjalani kehidupan sebagai seorang sufi. Lalu aku meninggalkan kota tanpa
diketahui seorang pun dan mengadakan perjalanan ke negeri ini, dengan tujuan
mencapai Baghdad, dengan harapan bahawa aku mungkin cukup beruntung menemukan
seseorang yang mahu membantuku menemui Pemimpin Kaum Beriman, Khalifah yang
bijaksana, sehingga aku dapat menceritakan kepadanya kisahku dan mengajukan
persoalanku ke hadapannya. Aku tiba malam itu juga, dan ketika aku sedang
berdiri dengar ragu-ragu di gerbang kota, tanpa mengetahui ke mana aku harus
pergi, sufi di sampingku ini mendekatiku, menunjukkan tanda-tanda sedang berada dalam perjalanan, dan menyapaku. Aku bertanya
padanya, "Apakah Anda orang asing?"
Dia menjawab, "Ya."
Aku berkata lagi, "Aku pun orang asing di
sini."
Saat kami sedang bercakap-cakap, seorang sufi lain muncul
dan ikut bergabung bersama kami di gerbang itu, sambil berkata, "Aku orang
asing di sini."
Kami menyahut, "Kami pun orang asing di sini."
Lalu kami bertiga berjalan sampai malam, tiga orang asing
yang tidak tahu mahu pergi ke mana. Tetapi Tuhan menuntun kami ke rumah ini,
dan tuan puteri cukup baik dan bermurah hati membiarkan kami masuk dan
membantuku melupakan kehilangan mataku.
Mendengar itu, sang gadis berkata, "Usaplah kepalamu
dan pergilah."
Sufi pertama itu menyahut, "Demi Tuhan, aku tidak
akan pergi sehingga aku mendengar kisah yang lain..."
Tetapi fajar menyingsing, dan Syahrazad menghentikan
ceritanya. Lalu Dinarzad berkata kepada kakaknya, "Kak, betapa aneh dan
menariknya kisah itu!" Syahrazad menyahut, "Ini belum apa-apa jika
dibandingkan dengan apa yang akan kuceritakan kepadamu esok malam, jika aku
masih hidup!"
Kembali ke Episod 1&2 di sini